Senin, 24 November 2008

CERPEN

MATI
Oleh Fajar suryadi

Suasana hening menyelimuti tanah pekuburan Indramayu. Tadi malam telah diumumkan dari corong spiker masjid bahwasanya mbak Julia yang orangnya cantik dan seksi telah meninggal dunia di studio rekaman. Disaat mayat almarhumah Julia hendak di kubur, ada seorang sepasang anak dan bapak sedang hikmat mendengarkan doa sang ustad, tapi dalam keheningan tersebut si anak bertanya pada bapaknya
“ pak, kenapa sih orang-orang pada menangis ? Tanya si anak
“ ya karena saudaranya ada yang meninggal”. Jawab ayah dengan lirih
“ lalu kenapa pak, kok mbak julia hidungnya ditutup ama kapas, apa nanti gak sesek napas” ? Tanya si anak dengan polos
“ itu karena mbak julia mau pergi ?
“ pergi kemana pak”?
“ pergi kehadapan Allah SWT”. Jawab ayah mantab
“ kata ustad, kalau ada orang yang menghadap kepada Allah itu tandanya orang itu ndak bisa napas, ndak bisa makan minum dan gak bisa ngapa-ngapain. Semua yang diperoleh waktu bekerja tidak terbawa. Kata ustad pula yang dibawa Cuma satu yaitu amal. Apa bener pak?
si bapak diam dan melongo melihat anaknya dengan tatapan serius.
“ nak, setiap orang nanti akan menghadap sang khalik,. Dan apa yang dikatakan ustad itu benar, bahwa nantinya ketika orang mati dia tidak akan membawa apa-apa terkecuali satu yaitu amal”.
“ kasian sekali ya pak, mbak Julia. mobil, ama motornya gak bisa dibawa. Padahal duitnya mbak Julia itu banyak lo pak. Bahkan temen-temen adik kemarin ada yang sedih, ketika mbak Julia mati katanya “ kita gak bisa ngintip mbak Julia lagi nih”. Si bapak kaget, lalu bertanya pada anaknya. “emang ngintip apa dan dimana ? Tanya bapak penasaran.
“ waktu main kerumah mbak Julia, kadang–kadang adik ama temen-temen ngintip mbak Julia dikamar ketika ganti baju. Jawab si anak.
Si bapak hanya diam dengan muka setengah tak percaya. Kemudian mengajak si anak pulang.

Label:

AYO BERUBAH

PEMERATAAN BERSUARA
Oleh FS

Tentu kita semua pasti sudah bisa menangkap kalimat diatas. Suatu sistem yang berusaha kita terapkan agar tidak adanya dominasi, dengan berusaha memeratakan kepada kesemuanya agar bersuara. Namun kalau kita berusaha masuk lebih dalam mengapa ? dan untuk apa? Sebenarnya pemerataan ini harus digalakkan. Coba kita lihat bersama-sama.
Sebuah peringatan keras dan sebuah nasehat yang sangat menusuk serta tajam dari seorang pendidik yang ditujukan kepada peserta didiknya agar lebih memahami arti dari sebuah kesadaran. Sadar sebagai seorang mahasiswa bahasa dan sastra indonesia, sdar sebagai orang yang bertangung jawab atas apa yang menjadi kewajibannya, dan sadar akan tantangan serta beban moral untuk menjadi seorang seorang pendidik kelak, adalah beberapa yang menjadi penyebabnya. Sebuah refleksi dari teguran pengajar, sedikit banyak telah membuat nurani kecil kita terusik, terusik dikarenakan ketidaksadaran kita akan sebuah kemajuan.
Kemudian untuk apa pemerataan bersuara itu ? mungkin ini hanyalah statement saya yang mana mungkin kawan-kawan semua kurang sependapat dengan saya, namun ini hanyalah interpretasi dari seorang manusia, dan disitulah letak dari eksistensi dari sebuah penafsiran ya eksistensi penafsiran. Satu hal yang menjadi sorotan adalah ketika pemerataan bersuara berusaha untuk digalakkan ternyata timbul problema, problema yang sebenernya sangatlah esensi dan perlu kita resapi.
Sebuah contoh pelaksanaan dari pemerataan bersuara adalah diskusi, atau kerja kelompok dimana diharapkan dari forum tersebut keluar suara-suara yang tidak pernah bersuara. Tapi apa yang terjadi dominasi tetap terjadi walaupun itu kecil tapi tetap saja itu terjadi dan itu adalah fakta yang perlu kita sadari dan perlu pembenahan. Serta yang paling mencolok adalah ketika job discription disepakati supaya ketika menjadi penyaji ada kekompakkan bersuara malah menjadi gambar kevakuman, gambar ketidakkompakkan, dan gambar ketidakberesan. Yang dikarenakan mental yang takut, minder, serta tidak berani adalah beberapa yang menjadi penyebanya, tapi ketika menyalahkan sifat tersebut maka itu adalah salah. Karena pada hakekatnya manusia tidaklah sama ada yang berani dan ada yang tidak berani dan itu sudah menjadi baku. Lalu apa yang harus dilakukan, sebenarnya mudah dan simple “SADARLAH DIRI” dengan sadar diri. Diri kita akan memasuki dunia tanda tanya,. Dunia untuk menuju perubahan demi kemajuan, kemajuan diri sendiri, kemajuan kita , dan kemajuan bersama. Mungkin ini akhir dari sekelumit pemikiran saya, saya akhiri dengan kalimat

“ Perubahan timbul karena kesadaran, kesadaran timbul karena adanya motifasi “

Dan semoga saja dalam diri kita ada rasa ingin berubah, rasa ingin sadar, serta rasa motifasi.



Jombang, 20 januari 2007

KUMPULAN PUISI

Kasih sayang VS Penderitaan
Oleh : Fajar Suryadi


Hidup adalah perjuangan
Kerikil tajam pastilah rintangan
Seorang muslim tidak pernah menganggap rintangan sebagai musibah melainkan sebuah ujian dan bentuk kasih sayang Tuhan terhadap hambanya
SKRIPSI bukanlah sesuatu hal yang harus dikeluhkan
Melainkan harus dikerjakan
Mengeluh sama saja berjalan di tempat
Melakukan tindakan konkret adalah sebuah jalan keluar

Sekarang kita tinggal memilih
Musibah atau ujian
Kasih saying atau penderitaan
Mengeluh atau action

Jalan keluar terbentang dihadapan kita
Malu bertanya sama dengan tersesat selamanya

Jadilah pribadi yang tangguh karena sesungguhnya Tuhan telah menciptakan kita menjadi mahkluk yang paling sempurna dari yang sempurna




Kuli Kapur

Oleh FS


Peluh keringat jatuh bak gunung meletus
Putih hati terselip panyakit ganas
Kebanggan semu tersembunyi pada seragam bertuliskan pemkab
Harga diri diujung kapur
Lunturnya gaji ke-13 tak kunjung
Tertambat pada selokan instansi
Kuli kapur berkoar menuntut kenyamanan
Phk dan mutasi jawaban konkret
Bu guru berjuang lihatkan keadilan
Dituduh cemarkan lingkungan pendidikan

Kami hanya tunas yang ingin tumbuh
Tak mampu merubah borok pendidikan
Takjubku pada mu melebihi takjubku pada tajmahal

Doaku menyertaimu wahai kuli kapur
Kelak, kami yang akan membangganggkanmu





OPoRTuNiS

Oleh : Fajar Suryadi


Kau tau kenapa anak durhaka
Karena sang idola berubah jadi binatang

Kau tau kenapa rencong meminta nyawa
Karena sang abdi tak memberi sesaji

Kau tau kenapa Kejora bergelora
Karena perut mereka ditusuk ditujah tanpa perasaan

Kau tau kenapa zamrud tak pernah bersinar
Karena zamrud berubah jadi lumpur, jadi abu

Kau tau ?
Kau tau.
Kau tau !

Tidak. Kau tidak tau,
Kau tidak tau
Kau tidak tau !
Karena.Kau
kau
kau.Tidak mau tahu




Pahlawan Devisa

Oleh : Fajar Suryadi
11.05 am



Rintihan menujam hati ibu
Buah hati tidak berbentuk
Suara tawa jadi jeritan
Menghujam, memecahkan suara guntur
Terbius oleh lolongan penipu
Disaat ada pesta demokrasi
Fatamorgana menawarkan dahaga
Di ujung pintu perbatasan
Masihkah ada sarapan pagi ini
Pertanyaan permanen rakyat ini
Wajah didempul, pungung berlukiskan garis merah tak beraturan
Kembali tak tentu wujud





Setan

oleh : Fajar suryadi


Setan telah menghisap ruh
Iblis telah menggerogoti fikriah
Nafsu menjadi raja
Raja dari segala raja
Raja setan dan raja iblis
Kakunya tubuh menjadi bisu
Bisunya karena menderita
Derita yang tiada henti
Doapun jadi abu

Pengakuan :
1.Puisi ini kuperuntukkan bagi manusia yang kehilangan iman ataupun lemah iman
2.Pesan : selagi iman masih ada maka seimbangkanlah ketiga unsur yang ada pada diri manusia yaitu keseimbangan 1) fikriah, 2) jasadiah, 3) ruhiyah

Jumat, 21 November 2008

PERKEMBANGAN BAHASA ANAK

KARAKTERISTIK UJARAN ANAK
Karakteristik Ujaran Anak
pada Fase Holofrastik


I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pembahasan
Pertumbuhan dan perkembangan manusia membutuhkan waktu yang panjang serta terdiri dari atas fase-fase yang memiliki ciri-ciri tersendiri. Di antara fase-fase itu, fase pertumbuhan awal atau pertumbuhan anak-anak merupakan fase yang paling banyak mendapat sorotan karena mengandung arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia pada masa selanjutnya. Bahkan para ahli ilmu jiwa perkembangan seperti Charlott Buhler dalam ( Simanjutak, 1984: 19 ) menganggap tingkat perkembangan anak pada fase ini sangat penting sehingga mereka berpendapat bahwa fase perkembangan anak pada masa ini menentukan corak dan kualitas manusia pada saat mereka menjadi dewasa, baik dalam aspek fisik, psikis, maupun sosial. Perkembangan anak ini juga diikuiti dengan perkembangan bahasanya. Hal ini sejalan dengan aliran rasionalisme yang mengatakan bahwa perkembangan bahasa anak mengikuti suatu pola tertentu. Setiap pola perkembangan anak mempunyai tatabahasa sendiri-sendiri pula, yang mungkin saja tidak sama dengan tatabahasa orang dewasa. Awal perkembangan bahasa pada dasarnya dapat diartikan sejak mulai adanya tangis pertama bayi , sebab tangis bayi saja dapat dianggap sebagai bahasa anak. Menangis bagi anak juga merupakan sarana mengekpresikan kehendak jiwanya. Perkembangan bahasa berikutnya, secara berangsur-angsur akan mengikuti bakat serta ritme perkembangan yang alami. Akan tetapi, perkembangan tesebut akan dipengaruhi oleh lingkungan serta fungsi bahasa anak. Bahasa bagi anak juga berfungsi sebagai alat komunikasi, yakni untuk menyampaikan maksudnya kepada orang lain. Setiap anak memperoleh bahasa pertama pada bulan-bulan pertama kehidupannya. Pemerolehan bahasa dapat terjadi tanpa adanya pengajaran khusus. Gejala pemerolehan bahasa pada hakikatnya merupakan perkembangan psikologis yang luar biasa dalam diri anak. Mengenai pemerolehan bahasa semua anak mendapatkan bahasa pertamanya secara tidak sadar dengan jalan mendengar langsung dari lingkungannya. Pemerolehan tersebut berupa ujaran yang dapat didengarnya dari orang tua, para pengasuh, anak-anak yang lebih tua, teman sepermaian, televisi, radio, dan teman bermain. Pemerolehan bahasa di lingkungan sosial, pertama kali anak dapatkan dari lingkungan keluarga, terutama ibu dan pengasuh. Ketika berbicara dengan bayi, ibu biasanya menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam percakapan orang dewasa, misalnya dia menggunakan ujaran mamam, mimi, dan sebagainya. Seorang anak akan memperlihatkan apa yang diujarkan oleh lingkungan sosialnya dengan cara mengamati kemudian menirukannya. Pengamatan dan peniruan memegang peranan penting dalam menghasilkan bahasa tetapi tidak cukup untuk belajar bahasa. Anak secara aktif menyusun cara-cara untuk menggunakan bahasa itu dari apa yang dikatakan kepada mereka. Ada beberapa faktor penting mengenai bahasa yang diujarkan anak. Yang pertama, bahasa lisan atau bahasa yang mereka dengar. Kedua, bahasa tak terkendali secara linguistik. Anak memperoleh bahasa tanpa dicerna terlebih dahulu. Bahasa dalam lingkungan anak tidak terkendali, dalam pengertian bahasa tersebut tidak tertata menurut tata bahasa yang sempurna. Bahasa yang dimiliki anak itu berkembang terus tahap demi tahap dan makin berdiferensiasi dengan perkembangan intelegensi dan latar belakang sosial budaya yang membentuknya ( Pateda, 1988: 42 ). Proses pemerolehan bahasa terjadi secara bertahap. Ujaran yang dimiliki anak juga berkembang dengan makin bertambahnya usia anak tersebut dan akan mengalami perkembangan bahasa melalui tahap-tahap tertentu. Yang lebih menarik anak tidak hanya mempunyai kemampuan untuk meniru yang pernah mereka dengar tetapi anak juga bisa mengujarkan sesuatu dengan kata-kata yang dihasilkannya sendiri. Biasanya kata-kata itu tidak memiliki arti yang sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Setiap orang mengalami proses tesebut dan menguasai bahasa ibunya, tetapi tidak seorang pun yang ingat apa yang terjadi selama proses itu berlangsung. Selama lebih kurang dua dekade, masalah pemerolehan bahasa mendapat perhatian yang sangat besar. Menurut Tarigan ( 1985 ) pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin rumit atau teori-teori yang masih terpendam. Senada dengan pendapat di atas Marjusman ( 1993: 20 ) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak-anak secara tidak sadar, implisit, dan informal. Kedua pendapat di atas memperlihatkan bahwa pemerolehan bahasa pada anak merupakan suatu prestasi yang paling menakjubkan. Proses pemerolehan bahasa tidak mengenal adanya guru, waktu, dan tempat khusus tetapi terjadi secara alamiah. Kadang kala kita sebagai orang tua atau orang yang sudah dewasa jarang memperhatikan bagaimana seorang anak menguasai bahasa dan maknanya. Kita hanya menganggap proses tersebut terjadi secara alami saja. Pada hal dalam kenyataan, masalah ini sangat rumit. Sering kali kita sukar memahami apa yang dia katakan, karena pada umumnya anak mengganti bunyi-bunyi tertentu dengan bunyi-bunyi yang lain. Berdasarkan uraian di atas, nampaknya perkembangan pemerolehan bahasa anak merupakan suatu kajian yang menarik untuk “dipergunjingkan” oleh kita semua, termasuk bagi kaum bapak-bapak yang kadang-kadang jarang memperhatikan masalah ini.
1. Batasan pembahasan
Banyak ranah, aspek, dan komponen bahasa yang bisa diteliti dari anak sehubungan perkembangan pemerolehan bahasanya, mulai dari fase pralinguistik samapai fase linguitik. Begitu pula yang menyangkut dengan anak sebagai makhluk individu yang menyimpan berbagai misteri tentang bagaimana bahasa bisa diperoleh anak, baik secara alami maupun belajar.
Para ahli menomori perkembangan linguistik nampaknya bersifat sewenang-wenang dan berbeda-beda dari pengarang ke pengarang. Kalau memperbandingkan pandangan-pandangan tertulis tahap-tahap pemerolehan, hendaknya kita lebih memusatkan perhatian pada karakteristik tahap-tahap yang beraneka ragam itu daripada kepada sistem penomoran yang dipakai oleh setiap pengarangnya. Sebagaimana kita dapat berkata bahwa seorang bayi berada pada tahap merangkak, kemudian tahap berjalan, maka kita pun dapat berkata bahwa seorang bayi berada dalam tahap satu kata diikuti oleh tahap dua kata. Secara bertahap berjalan menyusul merangkak, tetapi jelas kedua tahap tersebut bertumpang tindih. Sama juga halnya dengan tahap-tahap perkembangan satu kata dan dua kata. Kanak-kanak terus mempergunakan ucapan-ucapan satu kata setelah mereka mengembangkan keterampilan menggunakan ucapan-ucapan dua kata, tetapi ucapan-ucapan satu kata itu berkurang dalam frekuensi.Ada banyak hal yang bisa dikaji sehubungan dengan pemerolehan bahasa anak, baik dari segi fonologi, morfologi, sintaksis, maupun pragmatik. Masing-masing aspek ini bisa pula dikembangkan lagi menurut perkembangan urutan menurut kurun waktunya, mulai dari bulan pertama anak lahir sampai batas akhir proses pemerolehan bahasa yang menurut beberapa orang ahli berkisar enam tahun.
1. Pokok Bahasan
Begitu banyak persoalan yang menarik dalam proses pemerolehan bahasa anak yang dapat diungkapkan, diperbincangkan, atau diteliti. Ketertarikan itu tidak saja disebabkan karena menemukan sesuatu yang baru atau yang selama ini tidak teramati, tetapi juga karena memberikan sesuatu yang menggelitik pikiran dan bahkan membingungkan yang kadang-kadang tidak ditemukan rumus untuk menjelaskan dan menyelesaikannya.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hanya memfokuskan pada masalah bentuk, jenis, fungsi, dan konteks ujaran anak pada fase holofrastik.
1. Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk mendiskripsikan bentuk, jenis, fungsi, dan konteks ujaran anak pada fase holofrastik. Dengan ini diharapkan pemahaman tentang karakteristik bahasa anak pada fase holofrastik semakin jelas dan lengkap, sehingga ibu, bapak, kakak, pengasuh, atau siapa saja yang hidup berdekatan dengan anak pada fase ini dapat lebih mudah memahami proses dan perkembangan pemerolehan bahasa anaknya.
1. Manfaat Pembahasan
Adapun manfaat pembahasan dari pembicaraan yang berkaitan dengan karakteristik ujaran anak pada fase holofrastik ini adalah sebagai berikut:1. Sebagai pedoman bagi orang-orang yang dekat dengan anak ( orang tua, pengasuh, saudara, dll )untuk memahami fungsi, bentuk, dan konteks ujaran-ujaran anak pada fase holofrasa.2. Pengetahuan ini juga berguna bagi anggota masyarakat lainnya dalam memahami perkembangan bahasa anaknya.3. Dengan memahami perkembangan pemerolehan bahasa anak, setidak-tidaknya orang telah memiliki pengetahuan tentang kriteria umum pemerolehan bahasa yang bisa dijadikan sebagai acuan atau pembanding terhadap pemerolehan bahasa anak yang tidak normal.4. Membangkitkan kesadaran orang tua, terutama bapak-bapak, bahwa sebenarnya dia adalah bagian dari konteks yang ikut membina perkembangan pemerolehan bahasa anak yang selama ini jarang memperhatikannya. II. TINJAUAN TEORI
1. Bentuk
Kridalaksana (1993: 28 ) menjelaskan ada beberapa macam pengertian yang berkaitan dengan bentuk dalam kajian linguistik, diantaranya adalah bentuk: akrab, alergo, antara, asal, asing, asterisk, bebas, dasar, hormat, kanonis, kata, kembar, lemah, lento, prototipe istilah, purba, sulih, tegun, terikat, turunan I, turunan II, dan verba infinit.Yang dimaksud dengan bentuk dalam judul pada makalah ini bukanlah semua bentuk-bentuk yang berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Kridalaksana itu melainkan pengertian yang tertuju pada kata bentuk itu sendiri dalam kajian lingustik. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa pengertian bentuk (form) itu adalah !) Penampakan atau rupa satuan bahasa; 2) Penampakan atau rupa satuan gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis.Wujud dari bentuk ini dalam ujaran anak dalam fase holofrastik ada yang sempurna atau utuh dan ada juga yang tidak sempurna atau tidak lengkap.Contoh bentuk yang tidak sempurna itu seperti: [dah] yang berarti “kuda”, [teteh] yang berarti “kakak”, [tan] yang berarti “ikan”, dan [yam] yang berarti “ayam”. Sedangkan contoh bentuk sempurnanya yaitu kata-kata seperti: kuda, kakak, ikan,dan ayam.Kedua bentuk-bentuk itu sering muncul dalam konteks ujaran anak. Pada masa pemerolehan bahasa apapun dan oleh anak manapun di dunia ini bentuk yang lebih dulu muncul dan dikuasai anak adalah bentuk tidak sempurna kemudian baru diiringi dan diselingi oleh bentuk sempurna.
1. Kelas atau Jenis Kata
Kelas dalam konteks formal linguistik bermakana 1) Perangkat bahasa yang mempunyai sifat-sifat tertentu, 2) Perangkat unsur-unsur bahasa yang mempunyai fungsi tertentu dalam struktur yang lebih tinggi. Selanjutnya pengertian kelas ini berhubungan dengan pengkajian masalah bidang kategori yang berarti sebagai hasil pengelompokan unsur-unsur bahasa yang menggambarkan pengalaman manusia. Di samping itu, bisa diartikan sebagai golongan satuan bahasa yang anggota-anggotanya mempunyai perilaku sintaksis dan mempunyai sifat hubungan yang sama.Adapun kelas kata atau jenis kata yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah pengertian yang berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Kridalaksa (1993: 104) yaitu golongan kata yang memilik kesamaan dalam perilaku formalnya; klasifikasi atas nomina, ajektiva dan sebagainya itu diperlukan untuk membuat pengungkapan kaidah gramatika secara lebih sederhana. Ciri-ciri formal kelas kata berbeda dari suatu bahasa ke bahasa lain; misalnya dalam bahasa Indonesia ditandai oleh [-tidak], dalam bahasa Inggris nomina mempunyai penanda pluralis dengan genitif ”s”. Secara universal dan dipandang dari sudut semantik ada persamaan antara kelas dalam pelbagai bahasa; misalnya nomina biasanya mewakili orang atau benda.
1. Konteks
Konteks adalah aspek-aspek linguistik fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu. Konteks dapat juga dikatakan sebagai pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud dengan pembicara. Ada beberapa macam konteks yang terkait dengan permasalahan ini. Pertama, konteks budaya yaitu keseluruhan kebudayaan atau situasi nonlinguistik dimana sebuah komunikasi terjadi. Kedua, konteks sintaksis yaitu lingkungan gramatikal dari suatu unsur bahasa yang menentukan kelas dan fungsi unsur tersebut. Ketiga, konteks semotaktis yaitu lingkungan semantis yang ada di sekitar suatu unsur bahasa, makna unsur bahasa. Keempat, konteks linguistis, yaitu konteks yang memberikan makna yang paling cocok pada unsur bahasa, konsep yang mencakup konteks sintaksis dan konteks semotaktis. Kelima, konteks situasi yaitu lingkungan nonlinguistik ujaran yang merupakan alat untuk memperinci ciri-ciri situasi yang diperlukan untuk memahami makna ujaran. Dalam teori ini makna merupakan hubungan yang kompleks antara ciri linguistik dari ujaran dan ciri situasi sosial ( Kridalaksana, 1993: 121 ).Wert dalam ( Yasin, 1984: 264 ) membagi konteks menjadi konteks linguistik dan konteks situasional ( konteks eksralinguistik ). Konteks situasional dibagi menjadi dua, yaitu konteks budaya dan konteks langsung. Sementara konteks linguistik dibagi menjadi konteks wacana dan konteks semiotik.Kemudian dia mengatakan bahwa konteks budaya adalah situasi budaya dimana ujaran terjadi yang ikut mempengaruhi cara-cara berbahasa yang diakibatkan oleh kepribadian, sikap, dan tingkah laku. Konteks langsung dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti setting, partisipan, bentuk bahasa, topik pembicaraan, dan fungsi tindak tutur. Konteks linguistik adalah pertanda-pertanda yang dapat memberikan petunjuk tentang hubungan antara pertanda-pertanda tersebut dengan aspek-aspek bahasa yang ada di sekitarnya. Konteks wacana lebih banyak dibicarakan dalam konteks linguistik. Selanjutnya konteks semantik lebih banyak berkaitan dengan bidang sintaksis. Dalam makalah ini makna konteks lebih banyak dikaitkan dengan pengertiannya sebagai faktor luar yang menetukan fungsi komunikasi dari bahasa seseorang yang dapat mebantu memahami apa yang menjadi dasar tuturan tersebut. Lingkungan sosial anak, terutama lingkungan keluarga ( orang tua, saudara, dan pengasuh ) mempunyai pengaruh terhadap kosakata yang dimiliki anak. Sedangkan anak yang tidak lengkap diasuh oleh kedua orang tuanya akan menghadapi masalah. Keadaan itu bisa menghambat perkembangan bahasa anak dari yang sewajarnya. Hal ini mungkin dirasakan anak ada sesuatu yang kurang, yaitu kasih sayang, misalnya dari bapak. Anak tidak sepenuhnya merasakan konteks komunikasi dengan bapak. Penyerapan dan peniruan intonasi, gaya bicara, pilihan kata, dan ekspresi bapak kurang memberikan pengaruh terhadap proses pemerolehan bahasa anak. Secara tidak langsung, perkembangan pemerolehan bahasa anak berbeda dari perkembangan sewajarnya.
1. Pemerolehan Bahasa
Menurut aliran linguistik kontemporer, sifat keuniversalan bahasa tidak dapat dipisahkan dari pemerolehan bahasa. Setiap anak dapat memperoleh bahasa mana pun karena adanya sifat keuniversalan bahasa. Karena anak memiliki kemampuan memperoleh bahasa mana pun, maka pastilah ada sesuatu yang memikat bahasa-bahasa ini secara bersama yang sifatnya universal. Tanpa sifat ini mustahillah manusia dari pelbagai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda dapat memperoleh bahasa yang disajikan kepadanya.Chomsky ( dalam Darjowidjojo, 2000: 19 ) mengatakan manusia memiliki apa yang dinamakan faculties of mind, yaitu semacam kapling-kapling intelektual dalam benak mereka. Sejak lahir anak sudah memiliki bekal kodrati dalam bentuk suatu mekanisme absrak yang dinamakan dengan language acquisition device ( LAD ). Salah satunya dari kapling ini diperuntukan untuk pemakaian dan pemerolehan bahasa.Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat kodrati dan merupakan suatu proses instingtif yang berlanjut dan berjalan secara konstan dari waktu ke waktu dengan mengikuti jadwal genetik sesuai dengan prinsip dan parameter yang terdapat pada tatabahasa universal.Sebagian ahli yang sependapat dengan Chomsky pada mulanya berpendapat sama tentang perkembangan genetki anak, namun sesudah itu, tidak berasumsi bahwa prinsip-prinsip formal yang tersedia bagi anak adalah konstan dari masa ke masa. Mereka berpandangan bahwa prinsip-prinsip tertentu menjadi matang pada saat yang berbeda-beda sehingga tatabahasa anak dengan sendirinya berubah-ubah dari satu ke waktu lainnya. Karena itulah pandangan mereka dikenal dengan nama maturation theory yang sebenarnya merupakan teori diskontinuitas.Menurut Chomsky, lingkungan memang berpengaruh untuk menentukan macam bahasa yang akan dikuasai tetapi tidak berpengaruh terhadap pemerolehan itu sendiri. Sebagian orang memang berkeras pendapat akan adanya dikotomi antara kekodratan dan lingkungan, sementara ahli lain mengakui akan adanya saling pengaruh keduanya. Jika diteliti perkembangan jumlah literatur yang ada sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kelompok nativis lebih dominan. Periode Pemerolehan Bahasa Anak
1. Masa Cooing atau Mendekut
Anak dapat mengujarkan bunyi-bunyi seluruh bahasa di dunia, namun anak hanya akan mengujarkan bunyi-bunyi bahasa ibunya saja. Bunyi-bunyi yang dihasilkannya dapat digolongkan sebagai bunyi-bunyi linguistik sebenarnya. Bunyi yang dikeluarkan bayi pada masa ini adalah bunyi-bunyi linguistik nurani ( semula jadi ) yang bersifat sejagat.
Antara umur dua bulan sampai lima bulan anak sudah mulai prangoceh ( cooing ) dan bunyi yang dikeluarkan adalah bunyi yang mirip vocal /i/ dan kemudian vocal /u/ yang didahului oleh konsonan belakang /c/, /g/, /x/, dan /k/. Adapun bunyi-bunyi yang dikeluarkan ini tidak berlangsung lama.
1. Masa Membabel
Anak mengoceh mengucapkan satu kata dengan pola KV, begitu juga pada anak yang pekak. Setelah masuk pada tahap berikutnya pada usia satu tahun, maka anak yang pekak berangsur-angsur akan berhenti bersuara. Menjelang umur tiga puluh minggu ( 7 bulan 2 minggu ) bunyi menjadi lebih lama dan lebih stabil karena rongga mulut sudah mulai melebar, pernafasan lebih kuat. Adpun bunyi-bunyi yang dikeluarkan anatara lain /o/, /p/ bilabial berciri nasal /m/ dan kombinasi /p/ dan /a/ menimbulkan suku kata /pa/ dan / ma/. Karena proses reduplikasi terdengarlah / papa/ dan /mama/ bersifat universal dalam bahasa manapun yang belum mempunyai makna, tetapi orang dewasa memaknainya “ayah dan ibu”. Berikut apikodental /t/ dan velar /k/. Dengan munculnya bunyi kontras sehingga terbentuklah segi tiga vocal /a/, /i/, dan /u/.
1. Fase Holofrastik
Ada beberapa istilah yang dipakai oleh beberapa pengarang untuk menamai fase holofrastik ini seperti masa tahap satu, tahap satu kata, tahap linguistik pertama, dan tahap holofrastik. Meskipun berbeda-beda namun apa yang dimaksudkan oleh mereka itu semuanya hampir sama, yaitu mengatakan tentang perkembangan pemerolehan bahasa anak yang berkisar akhir umur satu setengah tahun sampai dua tahun. Perhitungan umur ini hanyalah perkiraan saja. Artinya, terdapat beberapa variasi lamanya tahap ini bagi kanak-kanak yang normal.
Menurut Tarigan ( 1984: 256 ) tahap satu kata mulai sekitar umur satu tahun, akan tetapi justru pada saat inilah tahap-tahap perkembangan lingustik berhenti dihubungkan dengan usia secara terpecaya. Artinya perkembangan pemerolehan bahasa anak tidak bisa lagi secara pasti dipetakan menurut pembagian kurun waktu karena mulai tahap ini pemerolehan bahasa anak menunjukkan variabelitas lamanya tahap satu ini bagi kanak- kanak normal.
Ada beberapa aktivitas anak pada tahap ini yang cendrung berupaya mengumpulkan nama-nama benda dan orang yang ada di sekitarnya. Anak mencari dan menemukan: 1) Kata tindak seperti makan, datang, dan pergi.2) Ekspresi-ekspresi sosial seperti hei dan helo. 3) Kata-kata lokasional seperti di sni, di sana, dan di atas. 4) Kata-kata pemerian seperti panas, dingin, dan besar.Sebagai tambahan terhadap perbedaan dalam jenis kata-kata yaang dipakai oleh anak-anak pada tahap holofrastik ini adalah pembagian berdasarkan cara mereka memakainya. Dengan sejumlah kata yang relatif terbatas, seorang anak dapat mengekpresikan berbagai ragam makna dan relasi dalam berbagai konteks.Ada sesuatu yang sangat menarik dari perkembangan bahasa anak pada fase holofrasa ini adalah satu kata yang diucapkan anak mempunyai multi makna. Dengan kat lain, satu kata yang diucapakan anak mewakili makna satu atau lebih kalimat. Pada masa ini anak mengerti banyak kata, namun dia belum bisa merangkai atau mengucapkan kata tersebut, sehingga yang keluar dari mulutnya hanya satu kata. Hal ini menunjukkan bahwa kata yang diserap oleh anak lebih banyak dari kata yang dikeluarkan oleh anak tersebut. Oleh karena itu, apa yang dimaksud oleh anak hanya bisa dia sebut dengan sangat terbatas. Jadi, kalau dihubung-hubungkan antara teori dan kenyataan yang ada di lapangan sangat relevan.
1. Akhir Tahap Satu Kata
Kemampuan berbahasa anak pada akhir tahap satu kata adalah:
1. Anak dapat menggunakan nomina untuk:
a) Memperkenalkan objek ( misalnya buku gambar permainan memberi nama ).b) Menarik perhatian seseorang pada sesuatu, misalnya peda ( menyatakan ada sepeda ).c) Menyatakan sesuatu yang diinginkan misalnya tipi { menyatakan ingin menonton} 2. Kadang-kadang ia memakai satu nomina untuk:a) Memperkenalkan atau menyatakan seseorang yang melakukan sesuatu, misalanya pa ( untuk menyatakan papa sedang makan ). b) Menyatakan objek suatu tindakan ( misalanya minum untuk menyatakan permintaan air ).c) Menyatakan penerima ( misalnya seseorang yang menerima sesuatu dari anak itu ).d) Menyatakan lokasi ( misalnya meja atau kotak sebagai tempat melekukan sesuatu ).e) Menyatakan orang yang ada hubungannya dengan suatu objek (misalnya papa dan mama).
Refleksi dari keadaan ini adalah pemakaian kata tunggal oleh anak sangat perlu diketahui oleh orang dewasa agar ia dapat memberi interpretasi makna yang tepat pada kata itu sesuai dengan maksudnya. Pemilihan situasi bagi anak dalam menyampaikan kata yang dipakainya ikut membantu ibu dan pengasuh dalam menafsirkan makna ujaran anak ( Tarigan, 1984: 15 ).
Ucapan-ucapan satu kata pada periode ini disebut holofrase karena kanak-kanak menyatakan keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Demikianlah kanak-kanak yang menyatakan susu dapat berarti: dia ingin minum susu, dia memberi tahu bahwa dia memiliki susu, dan dia melaporkan bahwa susunya diminum kucing atau tumpah.
Anak sampai umur lima belas bulan sudah memilki komprehensi yang sudah baik dan dapat menunjukkan apa yang dinamakan gigi, telinga, hidung, dan beberapa anggota tubuh lainnya namun dalam bidang produksi, kemampuan dia masih terbatas. Karena keterbatasan ini biasanya anak bersintaksis dengan satu suku kata dan sampai dengan umur tujuh belas bulan jumlahnya masih sangat terbatas. Mengingat struktur kata bahasa Indonesia yang dwi atau polisilabik, pertanyaan yang muncul adalah suku mana yang akan dipakai: pertama, kedua, ketiga, atau yang lain ( Soenjono, 2000: 124 ).
Kemampuan berproduksi anak mulai tampak menanjak pada umur delapan belas bulan. Yang menarik pada tahap ini adalah bahwa kata-kata dia sudah ada yang bersuku dua, disamping kata-kata eka suku seperti :
[dah] “kuda” [teteh] “kakak”
[tan] “ikan” [yam] “ayam”
[net] “monyet” [peda] “sepeda”[da] “kuda” [nani] “menyanyi”Seperti halnya ujaran pada umumnya, wujud sintaksis atau bentuk katanya yang belum berbentuk suku kata atau kata yang bisa berterima dan sederhana sekali, namun semantiknya sangat komplek.
1. Ujaran Satu Kata: Umur Satu Tahun
Kira-kira pada usia satu tahun seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. Pada usia ini anak sudah mulai mengerti bahwa bunyi ujaran itu berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Periode ini boleh dikatakan “satu kata sama dengan satu frasa atau satu kalimat” yang berarti satu kata yang diucapkan anak itu merupakan yang lengkap, contoh: “mam” ( saya minta makan ), “pa” ( saya mau papa di sini ), “ma” ( saya mau mama disini ).Mula-mula kata itu diucapkan anak karena ada rangsangan di sekitarmya, namun ketika dia sudah berusia lebih dari setahun maka ujaran “pa” berarti juga dimana papa? Dan “ma” dapat juga berarti “gambar seorang wanita di majalah itu ada mama”. Kata-kata yang biasa terdiri dari satu suku kata ( yang urutannya bunyi konsonan dan bunyi vokal ) tidak ada artinya bagi orang dewasa, tetapi bagi anak usia ini mempunyai arti khusus. Hanya orang tua atau pengasuhnya yang mengetahui apa maksud anak itu dengan mengucapkan “ni” umpanya yang berarti mandi ( Sri, 1988: 71 ). Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam periode ini mempunyai tiga fungsi yaitu 1) Kata-kata itu dihubungkan dengan prilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk berperilaku, 2) Untuk mengukapkan suatu perasaan, dan 3) Untuk memberi suatu nama kepada benda. Dalam bentuknya kata-kata yang diucapkan anak-anak itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafazkan seperti ( m, p, s, k ) dan vokal-vokal seperti ( a, i, u, o ). Tetapi meskipun pengungkapan anak itu masih sangat terbatas, menurut penyelidikan yang telah dilakukan para ahli, seorang anak mampu memakai perbedaan-perbedaan bunyi ujar yang lebih banyak daripada yang sanggup diucapkan.
1. Ujaran Satu-Dua Kata: Umur dua Tahun
Dalam bahasa-bahasa barat seperti bahasa Inggris, ujaran satu kata adalah ujaran satu suku kata karena pada umumnya kata-kata dalam bahasa ini bersuku satu. Dengan demikian ujaran dua kata sebenarnya adalah ujaran dua suku kata. Pengertian ini sangat penting untuk pemerolehan bahasa Indonesia karena kebanyakan kata dalam bahasa ini bersuku dua. Jadi ujaran satu kata bahasa Indonesia sebenarnya bisa sma dengan ujaan dua kata pada bahasa Inggris, meskipun tentu saja ada perbedaan lain.Kebanyakan buku tatabahasa Indonesia, termasuk Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia ( 1998 ), menyatakan bahwa tekanan kata pada bahasa Indonesia jatuh pada suku penultimat ( kedua terakhir ). Apabila suku penultimat itu berupa pepet (schwa), maka tekanan dipindahkan ks suku terakhir. Jadi untuk kata “gajah” tekana jatuh pada pada suku “ ga” dan bukan pada “jah”. Sementara itu salah satu strategi yang dipakai oleh anak untuk memilih suatu bentuk adalah bahwa bentuk tadi memiliki tekanan yang primer.
Di sini tampak ada suatu kontradiksi. Kalau memang benar bahwa tekanan kata pada bahasa Indonesia jatuh pada suku penultimat, maka anak akan memilih [ga] dan bukan [dah]. Akan tetapi kenyataan lainnya menurut Soenjono ( 2000 ) anak Indonesia seperti Echa ternyata memilih suku terakhir [dah]. Sementara itu, salah satu strategi lain yang dipakai anak adalah dengan memperhatikan unsur akhir pada kata. Salah satu prinsip universal yang diajukan oleh Slobin ( 1979: 108 ) adalah Pay attention to the ends of words. Dari segi kognitif manusia, apalagi anak kecil, akan lebih mengingat apa yang terakhir didengarnya. Dengan strategi semacam ini, eksplanasi untuk memilih suku akhir sebagai wakil dari seluruh kata dalam bahasa Indonesia sebenarnya telah terjawab. Masalah yang timbul adalah bahwa kenyataan ini tidak didukung oleh strategi lain yang mendorong dipilihnya suku yang memiliki nukleus pronomina. Karena fakta yang ada adalah bahwa anak memilih suku terakhir, maka yang perlu dikaji adalah apakah benar bahwa tekanan dalam bahasa Indonesia jatuh pada suku penultimat.
Menurut goedmans ( 1999 ) setelah ia menggeluti masalah tekanan dan aksen dalam bahasa Indonesia dalam jangka waktu yang lama serta melakukan eksperimen untuk pembuktiannya sampailah pada suatu kesimpulan bahwa tidak alasan apapun untuk mengatakan bahwa tekanan dalam bahasa Indonesia selalu jatuh pada suku penultimat bila suku kata itu bervokal penuh. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa orang Indonesia dari pelbagai latar belakang bahasa yang berbeda memiliki pola yang berbeda-beda pula.
Dalam bahasa Inggris ujaran yang berwujud dua suku pada umumnya merupakan ujaran dua kata karena pada umumnya kata bahasa Inggris terdiri dari satu suku. Pada bahasa Indonesia, ujaran SKDS ( satu kata dua suku ) merupakan ujaran satu kata, jadi tahap SKSS (satu kata satu suku ) bukan merupakan dua tahap yang terpisah. Percampuran antara SKSS dan SKDS terus berlanjut dan pada umur dua puluh bulan pun ujaran anak masih banyak yang SKSS.Yang menarik dari ujaran SKDS ini adalah bahwa bila kata asalnya bila memiliki lebih dari dua suku, maka anak selalu memilih dua suku yang terakhir kecuali untuk kata-kata yang reduplikatif dengan vokal yang sama yang tentunya tidak dapat dipastikan dua suku mana yang dipilih. Tidak ada bentuk sepe atau badmin untuk mewakili kata sepeda dan batminton. Pemilihan dua suku terakhir ini mungkin berkaitan dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada peneliti yang menemukan tekanan pada bagian depan dari kata yang trisilabik atau lebih. Dengan kata lain, tekanan condong untuk berada di suku-suku belakang. Karena itu, bila harus dua dari sekian suku yang dipilih oleh anak, maka suku terakhir dan sebelum terakhirlah yang diambil. Karena itu, kata yang dipilih loleh anak untuk sepeda, sepatu, batminton adalah masing-masing [ peda ], [ patu ], dan [ batminton ].Ada dua strategi yang diikuti oleh anak dalam merealisasikan ujaran satu kata yaitu 1) Pada tahap awal ( umur 17 bulan ) semua ujaran diwujudkan dalam satu suku dan suku yang dipilih adalah suku terakhir, 2) Pada tahap awal berikutnya( umur 18 bulan ) ujaran ada yang diwujudkan dalam dua suku, dan dua suku ini adalah suku terakhir, tanpa memperhatikan apakah kata asalnya memiliki dua suku atau lebih. G. Pengusaan Sintaksis AnakWujud kalimat yang dihasilkan anak berbeda dengan kalimat yang di dengarnya dari orang dewasa. Kalimat anak merupakan reduksi kalimat orang dewasa. Faktor utama yang menyebabkan adanya reduksi kalimat orang dewasa itu ialah rendahnya batas ingatan ( memory span ) untuk melukiskan peniruan dan batas rentang pemograman ( programming span ) anak untuk menyusun kalimat. Perbandingan antara panjang ujaran hasil peniruan ternyata sama dengan panjang ujaran yang dihasilkan secara spontan oleh anak yang sama. Semakin meningkat usia anak , semakin tinggi batas rentang ingatan dan rentang pemograman itu.Anak-anak mengembangkan gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui peniruan. Peniruan kalimat itu dengan memahami makna kata-katanya secara keseluruhan, tetapi tidak termasuk memahami fungsi gramatikal unsur-unsur kalimat itu. Apabila sejumlah kalimat dalam pola yang sama dipelajari barulah mungkin bagi anak untuk mengenal fungsi gramatikal unsur-unsur kalimat itu. Bukti lain tentang peniruan sebagai produksi ujaran anak telah ditemukan dalam penelitian tentang struktur sintaksis yang digunakan anak-anak. Anak adalah peniru ciri-ciri prosidi yang ulung dan mereka memiliki kendali yang baik pada sistem pemberian tekanan maupun intonasi. Seoramg anak usia dua tahun ketika diminta untuk mengulangi apa yang didengarnya dari orang dewasa mengucapkan bentuk-bentuk seperti ”Bapak pergi kerja” kemudian mengulanginya dalam bentuk ”Bapak kerja kantor.” Jelaslah bahwa anak itu memahami apa yang dikatakan oleh orang dewasa itu dan dia mempunyai cara tersendiri untuk menyampaikan pesan itu.Menurut para ahli yang mengamati perkembangan bahasa anak pada masa pemerolehan bahasa, anak juga membuat situasi organisasi fonologi yang lebih primitif dari suku kata. Satuan itu berupa kontur nada. Pada akhir periode berceloteh , anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya. Pada tahap ini membuat bunyi seolah-olah dia mengucapkan kalimat-kalimat panjang dan orang dewasa merasa kesulitan menangkap kata-kata dengan jelas. Tidak ada kata yang dapat ditangkap , kecuali hanya bunyi ocehan dengan pertanyaan atau pernyataan.Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pandangan yang banyak diikuti oleh orang adalah bahwa pemerolehan bahasa mengikuti suatu proses yang bertolak dari suatu yang lebih mudah kepada yang lebih sukar. Karena ltu, anak pada dasarnya memperoleh elemen-elemen bahasa dengan mengikuti graduasi kesukaran. Dalam bidang sintaksis, anak mulai dengan ujaran satu kata kemudian ujaran dua kata dan akhirnya ujaran tiga kata atau multikata. Meskipun ujaran satu kata secara sintaksis sangat sederhana, secaa gramatis ujaran ini bermulti arah karena makna dari ujaran tersebut hanya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi yang ada dan itu pun belum tentu bermakna tunggal. III. PEMBAHASAN
1. Klasifikasi Jenis dan Bentuk Ujaran Anak
Berdasrkan pendapat Nelson dalam ( Inggran. 1979: 192 ) jenis ujaran bahasa anak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Special Nominal; kata-kata yang bersifat lepas.
Contoh: /ma / : mama / kan / : ikan / pa / : papa / bu / : ibu
1. General Nominal; kata-kata yang mengacu kepada benda umum.
Contoh: / bil / : mobil / da / : sepeda / mah / : lemah / ni / : ini
/ tu / : itu
1. Action Word; kata-kata yang mengacu kepada tindakan yang spesifik.
Contoh: / cu / : susu
/ ndak au / : tidak mau / atit / : sakit / wauk / : bauk / dah pai / : sudah sampai.
1. Modifiers; kata-kata yang mengacu kepada sifat atau jumlah benda atau peristiwa.
Contoh: / lu / : malu / it / : pahit
/ das / : pedas
1. Personal Social; kata-kata yang mengekspresikan pernyataan efektif dan hubungan social.
Contoh: / ya / : iya / ndak / : tidak / dah / : sudah
Pada umunya ujaran yang banyak muncul dari ujaran anak pada fase holofrastik adalah action word yaitu kata-kata yang mengacu pada tindakan spesifik. Di samping itu, ujaran anak kadang kala hanya mengulang apa yang diucapakan dan saat berbicara tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Contoh, “ mau kemana ?” Anak menjawab, “yaju”.
Menurut Murny ( 2003, hal. 35 ) anak pada fase holofrasa ( umur 1—2 tahun ) lebih banyak mengucapkan kata yang langsung tertuju kepada aktivitas atau keadaan.
Contoh: / dak a’u / : tidak mau / atit / : sakit / atuh / : jatuh/ nakang / : nakal/ wauk / : bauk. Ujaran yang keluar dari ucapan anak tidak selalu beupa aktivitas atau keadaan, bisa juga pelaku dengan aktivitas, tergantung pada konteks. Sedangkan unsur kalimat yang sering dihilangkan yaitu: pelaku, objek, dan kata penunjuk. Lebih lanjut menurut Murny, kata aktivitas yang lain sering diujarkan anak pada fase ini adalah: / atit ma / : sakit ma / cu ma / : susu mama/ dah pai / : sudah sampai. Berdasarkan contoh-contoh di atas anak sudah dapat mengujarkan konsonan / b, d p, m, n, y / terutama konsonan / p / dengan baik, karena konsonan ini mudah dilihat alat bicara yang menghasilkannya. Sebaliknya konsonan velar, misalnya / g / dan frikatif labiodental dan apiko alveolar, misalnya / f,s / tidak dapat segera diujarkan karena alat bicara yang dihasilkannya tidak kelihatan dan belum sempurna. Di samping itu, anak sering kali menggantikan satu konsonan dengan konsonan yang lain. Contohnya, susu menjadi / cucu /, nakal menjadi / nakang /, bauk menjadi / wauk /, dan sakit menjadi / atit /. Kecendrungan lain yang dilakukan anak yaitu dia sudah memahami sebagian kata-kata yang menunjukkan perbandingan. Contoh: / sar cil / : besar kecil / das nis / : pedas manis / ik run / : naik turun / nas ngin / : panas dingin Karakteristik lain yang ditunjukkan anak berkaitan dengan pemerolehan bahasa pada masa holofrasa adalah anak lebih cepat paham dan langsung mengerjakan daripada mengucapkannya.
Contoh:
a. Ambil celana di kamar nak !
b. Ambil sepatu nak !
c. Ambil handuk nak !
d. Tolong letakkan gelas ini nak !
Secara umum dari contoh di atas semua anak dapat melaksanakan semuanya tanpa keliru. Artinya, anak bisa paham dengan kata: gelas, letakkan, sepatu, handuk. Ia sudah bisa membedakan antara baju dan celana, begitu juga gelas dengan sepatu daripada mengucapkannya. Jadi dapat juga dikatakan bahwa motorik anak secara keseluruhan lebih cepat berkembang dari perkembangan bahasanya. Murny ( 2003 ) telah meneliti pula ujaran seorang anak yang bernama Dedek pada fase holofrastik. Dari hasil penelitiannya ia menemukan contoh bentuk-bentuk ujaran anak sebagai berikut: 1. Bentuk Ujaran Satu KataContoh:[num] “Dedek minum.” [ci] “Dedek tambah nasi.”[mam] ”Dedek mau makan.” [lampu]”Hidupkan lampu!”[cing] ” Kucing ke sini.” [kek] ”Pakaikan baju!”[puk] “Dedek mau kerupuk.” [mi] “ Ini baju Dedek.”[nakang] “Kakak itu nakal.” [bek] “Itu kambing.”[dodok] “Dedek mau duduk.” [yatu] “Dedek pakai sepatu.”[yaju] “Baju Dedek cantik.”[nana] “Celana Dedek basah.”[auh] “Rumah kakak jauh.” [atuh] “Dedek jatuh, mama !” 2. Bentuk Ujaran Dua KataContoh:[atit ma] ”Kaki Dedet saki,t mama.”[ndak ’au] ”Dedet tidak mau ikut.”[ngin ma] ”Dingin mama.”[dah pai] ”Kita sudah sampai.”[ndak dadak] “Abang tidak ada.”[pat uci] ”Dedek mau ikut ke tempat nenek Uci.” 3. Bentuk Ujaran Tiga KataContoh:[mi ? cu ma] “Dedek mau minum susu, mama.”
1. Makna Fungsi dan Konteks Ujaran Anak
Makna fungsi dalam konteks pemerolehan bahasa anak adalah kegunaan ujaran yang disampaikan oleh anak. Berdasarkan konteks situasi, tuturan tersebut ada yang terjadi di dalam rumah, di halaman, atau di tempat-tempat lain. Bentuk adalah bunyi atau ucapan yang dikeluarkan oleh anak. Bentuk yang dikeluarkan anak itu terdiri dari atas dua, yaitu bentuk lengkap dan bentuk tidak lengkap.Konteks adalah keseluruhan yang melatari ujaran itu, seperti orang ( bayi, ibu, bapak, pengasuh, dll ), tempat ( kamar tidur, ruang makan, teras, dan ruang lainnya ), suasana ( dingin, panas, gembira, tenang, dsb ).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Murny ( 2003 ) terhadap salah seorang anak yang bernama Dedek pada fase holofrastik adalah ditemukannya tiga buah fungsi ujaran dalam beberapa konteks, yaitu:
1. Fungsi Memberi Informasi
Konteks 1,
Dalam sebuah percakapan anatara seorang anak yang bernama Dedek dengan seorang kakak yang kos di rumahnya. Suatu sore anak itu dan ibunya sedang duduk di ruangan keluarga sambil istirahat sambil menikmati minum teh dan makanan kecil beserta buah segar dan juga sambil menonton siaran televisi, tiba-tiba ia berujar “ii ?’’ Dari pembicaraan tadi terlihat bahwa anak mengedipkan matanya dan langsung meletakkan kembali jeruk itu ke atas meja. Kebetulan ada mahasiswa yang bertanya, “ Manis jeruknya Dek ?” Lalu dia menjawab “ii ?’’ yang berarti pahit. Jadi anak juga belum bisa membedakan rasa pahit dengan asam. Dari konteks di atas maka akan terlihatlah fungsi ujaran anak yaitu untuk memberikan informasi. Konteks 2,Pukul 16.00 Wib. Sore hari, Dedek minta main ke luar rumah karena sore itu banyak anak bermain sepeda di jalanan Tiba-tiba seorang anak menyerukan kata ”sapi” dan dia kelihatannya bingung. Dari situasi itu terlihat bahwa dia belum pernah melihat sapi. Kemudian kakak mengajak Dedek untuk melihat sapi yang sedang makan rumput. Sampai di sana, ” apa itu Dek ?” Dijawabnya ”pi”. Dari konteks di atas terlihatlah bahwa fungsi ujarannya adalah memberi informasi. Konteks 3,Suatu sore, Dedek sedang bermain mobil-mobilan di depan rumahnya sedang ibunya menyapu sampah pohon jambu yang ada dekat jalan itu. Tiba-tiba dia melihat Dedek menangis. Rupanya ia terpeleset. Dari kejadian ini terlihat bahwa ia merengek dan dari ekspresi wajahnya menampakkan ia kesakitan, kaki dan tangannya bergores luka. Sesampai di rumah, ibunya mengoleskan obat betadin, Dedek menangis dan menyebut ”auh-auh”. Dari konteks di atas terlihat adanya fungsi ujaran anak untuk memberi informasi. Konteks 4,Pagi hari, kira-kira jam 08. 00 Wib. Seorang ibuk duduk di depan wartel sambil menjaga anaknya. Tiba-tiba anak itu berujar ”bum-bum.” hal itu menunjukkan bahwa dia ingin mengatakan bahwa itu mobil. Dari pembicaraan itu terlihat bahwa anak ingin memberitahukan bahwa itu mobil. Dari konteks ini terlihat bahwa fungsi ujarannya sebagai memberi informasi.
1. Fungsi Pernyataan
Konteks 1,Percakapan antara Dedek dengan anak mahasiswa terjadi pada suatu sore, ketika anak kos ramai-ramai menonton telivisi di rumahnya. Pada waktu itu, dia juga ikut menonton dan dipeluk oleh salah seorang mahasiswa. Ada salah seorang anak kos ingin medekati ia dan minta disayang, ”Sayang kakak, Dek !” Terus dia menjawab, ” wauk. ” Dari pembicaraan di atas terlihat dari ekspresi wajahnya dia lagi senang duduk dengan kakaknya yang satu ini dan marah kalau diganggu oleh kakak yang lain sehingga dia merasa kesal dan Konteks menyatakan kakak yang lain bau. Dari konteks di atas, terlihatlah bahwa fungsi ujaran anak tersebut adalah sebagai pernyataan. Konteks 2,Percakapan ini terjadi ketika pagi hari kira-kira jam 08.00 Wib. antara pengasuh dengan seorang anak. Suatu ketika saat anak telah selesai mandi lari ke dalam kamar dan sambil berujar ”mi” dan menunjuk ke sebuah keranjang baju. Dari konteks ini, terlihat adanya percakapan antara dia dengan pengasuhnya. Pengasuh bertanya, ” Mana bajunya, Dek ?” Ia menjawab ”kak” artinya ini baju kakak sambil memegang sebuah baju bertuliskan ”Batman”, tetapi yang bisa diucapkan anak hanya satu kata yaitu ”mi” . Kemudian si kakak segera memakaikan baju pilihan anak itu. Dari ekspresi wajahnya terbayang anak puas karena kemauannya dituriti. Dari konteks di atas akan terlihat fungsi ujaran anak sebagi pernyataan. Konteks 3,Suatu sore yang cuacanya agak mendung Dedek dan kakaknya sudah mandi. Kemudian kakaknya bertanya, “ Kemana kita, Dek?” Tiba-tiba dia menjyahut “yatu” Dari konteks itu terlihat bahwa anak ingin dipakaikan sepatu dan mengajak jalan-jalan. Setelah pengasuhnya memasangkan tali sepatunya, Dedek menarik tangan kakanya untuk segera pergi. Dari konteks di atas akan terlihat fungsi ujaran anak sebagai pernyataan. Konteks 4,Pagi hari Minggu, bapak dan ibu Dedek akan pergi . Pengasuhnya kelihatan agak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan pergi. Anak itu sudah memakai baju dan sepatu. Tiba-tiba salah seorang anak kos berkata, ”Ganteng sekali, Dedeknya !” Dari ekspresi wajahnya kelihatan bahwa dia ceria sambil berkata ”yaju” . Dari konteks itu terlihat bahwa dia membanggakan pakaian baju barunya, namun yang keluar dari mulutnya hanya satu yaitu ”yaju”. Hal ini menunjukkan bahwa anak itu merasa senang, apalagi dipuji dengan kata ganteng, namun yang Dedek tahu bahwa dia pakai baju baru. Dari konteks di atas terlihatlah bahwa fungsi ujarannya adalah sebagai pernyataan. 3. Fungsi PermintaanKonteks 1,Sore hari jam 14.00 Wib, seorang ibu dengan seorang anak sedang duduk di ruangan tamu. Waktu itu Dedek berujar ”mi?” cu ma”. Dari pembicaran itu terlihat bahwa anak itu merengek dan menunjuk-nunjuk ke atas meja di situ diletakkan kaleng susu. Dari ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat haus. Hal itu menunjukkan bahwa anak itu mau minum susu, kemudian ibu bergebas meninggalkan anaknya utuk membuatkan susu. Akhirnya anak menampakkan wajah yang ceria melihat ibunya membawa sebotol susu. Dari konteks di atas terlihat bahwa fungsi ujaran anak sebagai permintaan. Konteks 2,Percakapan antara ibu dan anak ini terjadi siang hari pukul 14.00 Wib. Ketika itu seorang ibu dengan seorang anak sedang duduk di ruang tamu. Waktu itu tiba-tiba Dedek yang sedang bermain bola menangis karena bolanya terlempar ke dalam kamar. Rupanya bola Dedek masuk ke dalam salah satu kamar kakak kos, ”Ini bola Dedek?” Dedek menjawab ”iya”. Akhirnya dia menampakkan wajahnya yang ceria dan riang setelah bolanya dapat kembali. Dari konteks di atas akan terlihat fungsi ujaran anak sebagai permintaan. Konteks 3,Sore ketika jam 14.00 Wib. terjadi percakapan antara seorang anak dan kakak. Saat itu secara tiba-tiba anak berujar ”num.” Dari pembicaraan itu terlihat bibirnya merah kepanasan dan keringatnya bercucuran. Dia merengek dan menunjuk ke cangkir yang terletak di atas meja. Hal ini menunjukkan bahwa anak itu minta diambilkan air minum. Setelah melihat kakaknya datang membawakan segelas air barulah dia menampakkan wajah yang ceria.. Dari konteks di atas nampaklah bahwa fungsi ujarannya adalah sebagai perminttaan. Konteks 4,Pukul 10.00 Wib. Pagi, Dedek bermain di halaman bersama kakaknya, tiba-tiba liwat penjual minyak tanah keliling. Kebetulan ibunya juga sedang kehabisan minyak. Waktu itu, ibu memanggil “minyak” , dari dalam Dedek ikut-ikutan memanggil “nyak” . Dari pembicaraan itu terlihat bahwa anak ingin memberitahukan kepada ibunya bahwa ada orang berjualan minyak. Dari konteks di atas terlihat fungsi ujaran sebagai permintaan. Konteks 5,Pukul 08.00 Wib. Seorang ibu dan seorang anak berada di dapur. Waktu itu, tiba-tiba anak masuk ke dapur dan berujar “ puk ma” Dari pembicaraan itu terlihat bahwa anak yang sedang asyik main di luar lari ke dapur karena mendengar ibunya lagi meggoreng kerupuk. Hal itu menunjukkkan bahwa anak sudah paham dengan apa yang namanya kerupuk. Dari ujaran yang terlihat dalam konteks itu terlihat ujaran anak sebagai permintaan. IV. Simpulan dan SaranA. Simpulan
Dari berbagai ujaran anak yang berumur 18 bulan, tahap satu kata, yang dikemukakan oleh beberapa orang peneliti dan pengamat perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga fungsi bahasa pada bahasa anak, yatu: 1) Fungsi permintaan, 2) Fungsi pernyataan, dan 3) Memberi informasi. Disamping itu, ditemukan juga beberapa bentuk perilaku berbahsa anak berupa penghilangan pelaku aktivitas, objek, pelaku pemilik, pelaku perbuatan, pelaku kata majemuk, kata majemuk, kata sapaan, kata penunjuk objek, pelaku aktivitas, objek, keterangan tempat, kata ganti objek, dan keterangan tempat.
Ditemukan juga kelompok kata-kata yang berhubungan dengan usia ( bapak , ibu, anak, kakak ), jenis kelamin ( laki-laki: bapak, perempuan: ibu ), tempat ( halaman, dalam rumah, di dapur, kamar depan, ruang keluarga, teras rumah, ruang makan ), aktivitas ( bermain, berkumpul, bepergian ).
Berdasarkan pandangan beberapa ahli linguistik, kuantitas pemerolehan bahasa anak dari segi bentuk ujaran dapat dikelompokkan menjadi: 1) Ujaran satu kata ( +75 % ), 2) Ujaran dua kata ( + 22,5 % ), dan ujaran tiga kata ( + 2,5 % ). Selain itu dapat juga dikatakan bahwa anak lebih sering menggunakan ujaran yang tidak lengkap dan cendrung mengujarkan suku kata terakhir.
Yang tidak kalah menariknya adalah bahwa anak pada fase holofrasa menggunakan satu kata untuk mengungkapkan beberapa makna, seakan-akan anak adalah bagian masyarakat bahasa yang mempunyai potensi individual dan social bahasa dalam membentuk dan mengembangkan makna kata suatu bahasa. Pada masa ini, orang tua atau pengasuhnya sebenarnya adalah penerjemah atau penginterpretasi bahasa yang ulung dan luar biasa. Dengan ujaran satu kata anak, yang terdiri dari suku kata terakhir, yang kadang-kadang bunyinya pun tidak karuan, tapi orang tua atau pengasuh dapat menerjemahkan ujaran itu yang terjadi pada berbagai macam konteks komunikasi.
Pada umumnya kaum ibu dan pengasuh lebih mengerti bahasa anak bila dibandingkan dengan kaum bapak. Kenyataan ini disebabkan kaum bapak lebih banyak berada di luar rumah. Pada hal di samping faktor personal lawan bicara, konteks sosial bahasa, faktor budaya, dan lain sebagainya, faktor keseringan berdekatan dengan anak juga berpengaruh terhadap intensitas intuisi dan pemahaman terhadap perkembangan pemerolehan bahasa anak. Jadi disitulah letek kelebihan ibu dan pengasuh bila dibandingkan dengan bapak dalam memahami, mempengaruhi, dan membina proses perkembangan bahasa anak.
1. Saran-saran
Dari uraian singkat tentang perkembangan pemerolehan bahasa anak pada fase holofrasa, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Jadikanlah tulisan ini jadi acuan bagi para ibu ( orang tua ) dan pengasuh anak dalam memahami dan membina pemerolehan bahasa anak pada fase holofrasa.
2. Jika seorang bapak ingin ikut mewarnai kepribadian anak umumnya dan proses pemerolehan bahasa anak khususnya, maka perbanyaklah kuantitas bergaul atau berkomunikasi dengan anak. Karena kuantitas berkomunikasi dengan anak berpengaruh terhadap pemerolehan bahasanya dan kemampuan bapak dalam memahami dan menginterpretasi ujaran anak yang multi makna.
3. Pilihlah kelompok kata dan kalimat yang baik dan bermakna atau yang sesuai dengan aspek kehidupan yang diinginkan, karena semuanya itu berpengaruh terhadap perkembangan pemerolehan bahasa serta kepribadiannya.
4. Kepada para peneliti psikolinguistik, telitilah lagi pemerolehan bahasa anak dalam aspek-aspek dan bentuk-bentuk lainnya yang masih banyak dan yang tak kalah menariknya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dalyono, M. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono ( ed ). 1991. Pelba 4, Linguistik Neurologi, Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya Keempat. Yogyakarta: Kanisius.
_________ 2000. Echa, Kisah Pemeroleham Bahasa anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
_________ 2003. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Djajasudarma, T. Fatimah.
1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.
Djojosuroto, Kinayati dan M.L.A. Sumaryati. 2004. Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa.
Goedemans, Rob dan Ellen van Zanten. 1999. “ Stress and Accent in Indonesia.” Disajikan di The Third Symposium on Malay / Indonesian Linguistic, Amsterdam, 24—25 August, 1999.
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2006. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada.
Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisi Data Kualitatif. Terjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitan Indonesia.
Moeleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mukhtar dan Erna Widodo. 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz.
Murny. 2003. Fungsi, bentuk, dan Konteks Ujaran Anak Pada Fase Holofrasa. Padang: PPS UNP.
Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik: Yogyakarta: Kanisius.
Prayitno. 2004. Buku Panduan Penulisan tesis dan Disertasi. Padang: PPS UNP.
Pradopo, Rahmat Djoko et al. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Adipura.
Purwo, Bambang Kaswati ( ed ). 2006. Kolita 4, Konfrensi Linguistik Tahunan Atmajaya: Tingkat Internasional. Jakarta: Atmajaya.
Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK.
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudjan, H. Nana. 2002. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tarigan, Hendri Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
_________1988. Pengajaran Pemorelahan Bahasa. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK.
Waluyo, Herman J. 1992. Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Senin, 17 November 2008

RENUNGAN

TEMAN SEPERJUANGAN



BUAT TEMANKU YANG SEKARANG LAGI SKRIPSI
HIDUP ITU PENUH DENGAN PERJUANGAN
JANGAN SAMPAI HANYA KARENA SKRIPSI KITA JADI SEKELOMPOK HEWAN

TEMAN SEPERJUANGAN
KUNCI SUKSES APABILA INGIN MUDAH MENGERJAKAN SKRIPSI SANGATLAH MUDAH
1. USAHA DENGAN MEMPERTAJAM PISAU TEORI
2. BANYAK BACA BUKU
3. BANYAK TANYA PADA TEMAN YANG DIRASA AMPU MEMBANTU
4. BANYAK BUKA INTERNET
5. BUKA BLOG INI


SELAMAT MENIKMATI
SEMUA SETELAH MEMBUKA BLOG INI SKRIPSI ANDA LEKAS KELAR.

HIDUP BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

BAHASA GAUL

BAHASA GAUL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film merupakan manifestasi perkembangan kehidupan budaya masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman, film mengalami perkembangan baik dari segi teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Hal ini disebabkan film berkembang sejalan dengan unsur-unsur budaya masyarakat yang melatarbelakanginya, termasuk di dalamnya adalah perkembangan bahasa.
Ekky Imanjaya juga menuliskan pernyataan yang sama bahwa film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zeitgeist) masyarakat saat itu (2006: 29). Artinya, film tidak dapat terlepas dari kondisi sosial budaya masyarakat yang melatarbelakangi pembuatan film tersebut. Dengan kata lain, film merupakan cerminan budaya manusia.
Film tidak dapat terlepas dari kerja sebuah tim. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah proses produksi film dibutuhkan seorang produser, penulis skenario, sutradara, asisten sutradara (astrada), aktor atau aktris, ahli make up, ahli properti, hingga hal esensial yang tidak kalah penting yaitu musik pengiring atau yang lebih dikenal sebagai soundtrack.
Fungsi soundtrack adalah menjiwai keseluruhan adegan atau setidak-tidaknya mewakili gambaran suasana tertentu dalam sebuah film. Hampir di setiap film remaja yang populer di Indonesia, soundtrack film dikerjakan oleh dua komposer ternama, Melly Guslow dan Anton Hood. Soundtrack inilah yang nantinya juga berperan sebagai publikasi film kepada masyarakat. Bahkan, terdapat soundtrack yang dipublikasikan jauh hari sebelum filmnya diputar di bioskop. Hal ini dapat disimpulkan bahwa film dan soundtrack sama halnya dengan koin mata uang yang saling memenuhi masing-masing sisinya.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Serah Simpan dan Pengelolaan Rekam Film Cerita atau Film Dokumenter dijelaskan bahwa Karya Rekam Film Ceritera atau Film Dokumenter pada dasarnya merupakan salah satu karya budaya bangsa sebagai perwujudan cipta, rasa, dan karsa manusia, serta mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penyebaran informasi. (www.imlpc.or.id)
Fenomena semakin maraknya film remaja di Indonesia, seperti sekarang ini, ternyata melalui proses sejarah yang panjang. Proses ini diawalai ketika bioskop-bioskop di wilayah kabupaten mulai bangkrut, tutup, dan tergusur yang selanjutnya menjadi pertokoan atau pusat perbelanjaan. Bangkrutnya bioskop tersebut tidak terlepas dari hadirnya VCD atau DVD baik yang secara legal maupun ilegal beredar di pasaran. Masyarakat tentu lebih memilih menonton film di rumah daripada di bioskop, karena biaya di bioskop lebih mahal. Semaraknya industri televisi swasta juga turut mengikis produksi perfilman nasional. Apalagi persaingan televisi swasta mampu menghadirkan film dan acara yang digemari oleh masyarakat.
J.B Kristanto (Kompas, 2005) menyatakan bahwa bangkrutnya bioskop di wilayah kabupaten itu disertai dengan tumbuhnya raksasa jaringan bioskop yang dikenal dengan Jaringan Bioskop 21 (baca: Jaringan Bioskop Twenty One). Jaringan Bioskop 21 yang berkonsentrasi di kota-kota besar dalam bentuk multipleks tersebut sebenarnya sudah mulai tumbuh di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Lebih khusus lagi, Jaringan Bioskop 21 ini juga berkonsentrasi di mal-mal yang menjamur di hampir semua ibu kota propinsi. Hal ini juga membawa akibat pada perubahan karakteristik penonton yang sebagian besar adalah remaja dari masyarakat menengah ke atas. Penonton inilah yang harus dihadapi oleh para pembuat film (sineas).
Tahun 1990-an muncul isu bahwa produksi perfilaman di Indonesia mengalami stagnasi. Hal ini mungkin benar jika dilihat dari segi kuantitas film yang diproduksi di bioskop selama kurun waktu tersebut. Pada kenyataannya, walau tanpa berada di bioskop, film Indonesia terus berproduksi. Pemutaran film tersebut dapat dilakukan dalam bentuk proyeksi video digital baik di tempat umum atau tempat khusus serta baik yang ditiketkan atau digratiskan.
Dari Sumber yang sama, Kritanto (Kompas, 2005) menguraikan bahwa kesan lesu dunia perfilman di Indonesia muncul karena masyarakat tidak melihat tampilnya film-film di bioskop dan kualitas film hasil produksi selama kurun waktu tersebut. Padahal, pada tahun-tahun yang paling sulit pun sebenarnya tetap ada usaha memproduksi. Ada sekitar 13 film yang langsung beredar dalam bentuk VCD, atau langsung ditayangkan untuk umum dalam bentuk proyeksi video digital di bioskop umum, tempat khusus yang mengadakan pemutaran film dengan membayar tiket masuk, atau festival-festival di dalam negeri (JiFFest) dan di luar negeri.
Selanjutnya, pada awal tahun 2000 empat sineas yang memiliki pandangan idiologi yang berbeda membuat sebuah film yang merepresentatifkan dunia remaja para sineas tersebut, Kuldesak. Secara komersial, film tersebut tidak begitu membuahkan hasil, tetapi film tersebut telah menyakinkan para sineas baru untuk terus memproduksi film. Tahun berikutnya disusul oleh Petualangan Sherina yang secara komersial jauh lebih baik daripada Kuldesak. Keberuntungan secara komersial juga berlanjut dalam produksi film selanjutnya, Ada Apa Dengan Cinta (2002). Film yang ditonton lebih dari tiga juta penonton dan sukses di Malaysia inilah yang menjadi penggerak produksi perfilman di Indonesis, khususnya genre film remaja.
Berdasarkan pertimbangan bahwa film Ada Apa Dengan Cinta sebagai film remaja Indonesia terlaris dan sebagai film yang memotivasi tumbuhnya produksi film di Indonesia, khususnya film remaja, maka film Ada Apa Dengan Cinta dianggap representatif untuk diteliti. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah ditulis oleh Yus R. Ismail (Pikiran Rakyat, 2005) bahwa film Ada Apa Dengan Cinta merupakan film yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan film di Indonesia. Di samping itu, film tersebut juga mampu mengembalikan antrean bioskop panjang film Indonesia yang sudah lama sepi.
Perkembangan terakhir pada tahun 2006, film remaja Indonesia Heart berhasil menduduki peringkat teratas berdasarkan jumlah penonton terbanyak, yaitu 1,3 juta orang di dalam negeri dan 3,5 ribu penonton di Malaysia (Suara Pembaruan, 2006). Film yang disutradarai oleh Hanny R. Saputra dan beredar sejak 11 Mei 2006 lalu tersebut dinyatakan sebagai film terlaris dalam sebuah artikel oleh Suara Pembaruan (2006) berjudul “Heart, Film Terlaris Tahun Ini”. Film remaja yang lama diputar di bioskop seluruh Indonesia tersebut dinominasikan piala Antemas sebagai film yang meraih penonton terbanyak pada festival Film Indonesia 2006.
Film Heart merupakan film remaja Indonesia yang aktual. Keaktualan tersebut tampak pada waktu pemutaran film di bioskop. Sebagai film aktual, Heart, telah merekam sejumlah unsur-unsur budaya baru yang melatarbelakanginya yang tidak terdapat dalam film-film remaja sebelumnya. Salah satu unsur-unsur budaya yang dimaksud adalah perkembangan bahasa gaul remaja Indonesia. Oleh karena pertimbangan keaktulan film dan film terlaris tahun 2006, film remaja Indonesia Heart dianggap pantas untuk diteliti sebagai representatif film remaja Indonesia.
Pada dasarnya, remaja memiliki bahasa tersendiri dalam mengungkapkan ekspresi diri. Bahasa remaja tersebut kemudian dikenal sebagai bahasa gaul remaja. Bahasa gaul inilah yang ditangkap oleh penulis sekenario untuk menghidupkan suasana atau atmosfer remaja dalam film remaja Indonesia. Kemudian, penulis skenario menuangkannya dalam bentuk dialog. Dengan kata lain, film mampu menjadi salah satu sarana untuk mensosialisasikan bahasa gaul yang kini banyak digunakan oleh remaja Indonesia baik yang berada di kota maupun di pelosok desa.
Apabila ditinjau lebih lanjut, masa remaja merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja memiliki karakteristik antara lain petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan Partana, 2002:150).
Dialog film remaja sebagai representatif tutur remaja yang melatarbelakanginya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia baku. Hal ini disebabkan bahasa gaul merupakan bahasa santai sebagai bahasa sehari-hari.
Distribusi bahasa gaul sering tidak memperhatikan konteks yang tepat. Beberapa film remaja Indonesia menampilkan adegan seorang siswa SMA menggunakan bahasa gaul ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah.
Dari salah satu adegan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa gaul sebagai tutur remaja dilihat dari segi distribusinya atau pesebarannya dapat dikatakan telah berhasil menjadi bahasa identitas remaja. Sebaliknya, bahasa remaja menjadi dampak negatif apabila dilihat dari segi ketidakmampuan remaja menempatkan bahasa dalam konteks sosialnya.
Ani Arlina Kholid dalam Pikiran Rakyat menyatakan bahwa salah satu ciri atau sifat bahasa yang hidup dan dipakai di dalam masyarakat, apa pun dan di manapun bahasa tersebut digunakan, akan selalu terus mengalami perubahan. Bahasa akan terus berkembang dan memiliki aneka ragam atau variasi, baik berdasarkan kondisi sosiologis maupun kondisi psikologis dari penggunanya. Oleh karena itu, dikenal ada variasi atau ragam bahasa pedagang, ragam bahasa pejabat/politikus, ragam bahasa anak-anak, termasuk ragam bahasa gaul.
Dalam kelompok tutur tercatat bahwa tutur generasi tua berbeda ragam dengan tutur generasi muda. Hal ini tidak berarti bahwa bahasa generasi tua berbeda dengan bahasa generasi muda. Umumnya perbedaan itu terletak pada fitur linguistik tertentu yang hanya dapat ditemukan pada tutur generasi tua, atau fitur-fitur yang lebih sering digunakan oleh generasi tua. Generasi muda mungkin masih sering memakainya, namun hanya dalam tulisan. Sedangkan generasi tua memakainya dalam komunikasi lisan. Sebaliknya, pada tutur generasi muda, kita bisa menemukan fitur-fitur linguistik yang tidak terdapat atau jarang muncul pada tutur generasi tua. (John T Platt, Heidi K. Plat, 1975:63)
Bahasa gaul remaja sebagai variasi bahasa mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakan tutur remaja dengan tutur bahasa yang lain. Karakteristik bahasa gaul remaja tampak pada pilihan kosakata, ungkapan, pola, dan strukturnya.
Remaja sebagai kelompok sosial tertentu yang ada di dalam masyarakat menggunakan bahasa gaul tidak hanya ketika berkomunikasi dengan anggota kelomponya, tetapi juga dengan kelompok generasi tua. Selain itu, bahasa gaul rermaja memiliki keunikan-keunikan yang bersifat kreatif dan memiliki nilai sosial tersendiri. Oleh karena itu, penelitian berjudul “Pemakaian Bahasa Gaul Antartokoh dalam Film Remaja Indonesia Ada Apa Denagn Cinta dan Heart” menarik untuk diamati dan diteliti.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup permasalahan, maka dalam penelitian ini hanya meliputi pemakaian bahasa gaul remaja yang terbatas pada percakapan yang dilakukan antartokoh film remaja Indonesia. Adapun permasalah pokok yang diteliti meliputi kosakata, ungkapan, intonasi, pelafalan, pola, konteks serta distribusi bahasa gaul.
Mengingat semakin berkembangnya arus komunikasi, maka siswa telah mengesahkan pemakaian bahasa gaul di setiap situasi dan tidak memperhatikan keadaan dengan siapa dan dimana mereka menggunakan bahasa tersebut. Kalau hal itu sampai dibiarkan terus terjadi, maka sikap kesopanan berbahasa sebagai bentuk kesopanan terhadap orang yang lebih tua sudah terabaikan.
1.2.2 Rumusan Masalah
Dari ruang lingkup permasalahan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:
1) bagaimana karakteristik kosakata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
2) bagaimana bentukan kata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
3) bagaimana struktur bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
4) bagaimana bentuk ungkapan, intonasi, dan pelafalan bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
5) bagaimana distribusi bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa pemakaian bahasa gaul dalam dialog antartokoh film remaja Indonesia. Secara khusus, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1) mendiskripsikan karakteristik kosakata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
2) mendiskripsikan bentukan kata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
3) mendiskripsikan struktur bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
4) mendiskripsikan bentuk ungkapan, intonasi, dan pelafalan bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
5) mendiskripsikan distribusi bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
1.4 Manfaat penelitian
Secara operasional, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoristis yang diharapkan adalah memperkaya kajian sosiolinguistik khususnya tentang variasai bahasa, serta dapat menghasilkan deskripsi mengenai bahasa gaul sebagai bahasa remaja.
Manfaat prakatis yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah bagi guru khususnya yaitu untuk bahan pengajaran, bagi pembaca, penelitian ini dapat menambah pemahaman berbagai bahasa di dalam masyarakat, dan bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi awal dalam penelitian lain khususnya bidang sosiolinguistik.
1.5 Definisi Operasional
Definisi opersional penting ada dalam setiap penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman penafsiran terhadap istilah-istilah yang ada dalam sebuah penelitian. Adapun definisi operaional yang terdapat penelitain berjudul Pemakaian Bahasa Gaul Antartokoh dalam Film Remaja Indonesia Ada Apa Denagn Cinta dan Heart adalah :
1) Bahasa gaul adalah dialek nonformal baik berupa slang atau prokem yang digunakan oleh kalangan remaja (khususnya perkotaan), bersifat sementara, hanya berupa variasi bahasa, penggunaannya meliputi: kosakata, ungkapan, intonasi, pelafalan, pola, konteks serta distribusi.
2) Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun.Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.
3) Film merupakan karya budaya yang di dalamnya mencangkup berbagai bidang kesenian yang lainnya sebagai perwujudan rasa, cipta, dan karsa manusia serta dapat berperan sebagai pembangunan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, serta persebaran informasi.
4) Film Remaja adalah karya seni yang menitikberatkan tema, tokoh, dan suasana remaja yang diangkat dalam sebuah film sekaligus remaja sebagai sasaran utamanya
5) Dialog antartokoh adalah bentuk komunikasi antartokoh dalam sebuah film yang ditulis oleh penulis scenario.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Sosial Bahasa dalam Masyarakat
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya.
Bahasa bersifat manasuka (arbitrer). Oleh karena itu, bahasa sangat terkait dengan budaya dan sosial ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Hal ini memungkinkan adanya diferensiasi kosakata antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Perkembangan bahasa tergantung pada pemakainya. Bahasa terikat secara sosial, dikontruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi sosial tertentu daripada tertata menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal. Oleh karena itu, bahasa dapat dikatakan sebagai keinginan sosial (Suara Karya, 2006)
Disamping fungsi sosial, bahasa tidak terlepas dari perkembangan budaya manusia. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Bahasa dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga, bahasa dapat disebut sebagai cermin zamannya.
Sumarsono dan Paini Partana dalam Sosiolinguistik (2006, hal) menyatakan bahwa bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Keraf (1980:3) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai indentitas kelompok dalam suatu masyarakat.
Menurut Pateda (1987:4) bahwa bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan semua yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui seseorang kepada orang lain. Bahasa juga memungkinkan manusia dapat bekerja sama dengan orang lain dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan erat bahwa hakikat manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bahasa untuk memenuhi hasratnya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.
Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Termasuk salah satu peran tersebut adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Nababan (1984:38) bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana kita kenal sekarang.
Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.
Kartomiharjo (1982:1) menguraikan bahwa salah satu butir sumpah pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia. Dengan dengan demikian bahasa dapat mengikat anggota-anggota masyarakat pemakai bahasa menjadi masyarakat yang kuat, bersatu, dan maju.
2.2 Variasi Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama.
Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasian bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
Lebih sederhana, Sumarsana dan Partana (2000: hal ?) mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20 % atau kurang, maka keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40%-60%, maka keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi dari sebuah bahasa.
Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaiannya/ragam (Pateda, 1987: 52)
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik dibatasi oleh sungai, lautan, gunung, maupun hutan. Kebervariasian ini mengahsilkan adanya dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda namun masih dipahami oleh pengguna dalam suatau masyarakat bahasa walaupun terpisah secara geografis.
Variasi bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa mengikuti perkembangan masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis.
Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987: 52)dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja), rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status sosial, dan umur.
Variasi bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara.
Sedangkan Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaianya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persuratkabaran), kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pembicaraan atau cara pengungkapan dapat berupa sarana atau cara pemakaian bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis. Sehingga, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.
Pemakaian ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi pemakaian. Hal ini sebagai indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keanekaragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang dipakai memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul remaja menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.
2.3 Bahasa Gaul, Slang, dan Prokem
Terdapat dua situasi yang menggolongkan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Bahasa yang digunakan pada situasi resmi menuntut penutur untuk menggunakan bahasa baku, bahasa formal. Penggunaan bahasa resmi terutama disebabkan oleh keresmian suasana pembicaraan atau komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi. Contoh suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah umum, dan lain-lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak digunakan dalam surat dinas, perundang-undangan, dokumentasi resmi, dan dan lain-lain.
Situasi tidak resmi akan memunculkan suasana penggunaan bahasa tidak resmi juga. Kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak tergantung pada tingkat keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dalam situasi tidak resmi, penutur bahasa tidak resmi mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau formal. Kaidah dan aturan dalam bahasa bahasa baku tidak lagi menjadi perhatian. Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi adalah asal orang yang diajak bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi pada situasi komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain. Dari ragam tidak resmi tersebut, selanjutnya memunculkan istilah yang disebut dengan istilah bahasa gaul.
Ismail Kusmayadi (Pikiran Rakyat, 2006) mengkawatirkan terkikisnya bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah arus globalisasi. Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari semakin tinggi. Dan yang lebih parah makin berkembangnya bahasa slank atau bahasa gaul yang mencampuradukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Oleh sebab itu, bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata. Tidak sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh tren dan perkembangan zaman. Maka dari itu, setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai representatifnya.
Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan anatara slang, dan prokem. Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pemakai narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa tidak resmi (Nyoman Riasa, 2006)
Oleh karenanya bahasa gaul remaja berkembang seiring dengan perkembangan zaman, maka bahasa gaul dari masa ke masa berbeda. Tidak mengherankan apabila bahasa gaul remaja digunakan dalam lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu kelompok remaja. Hal ini berarti bahwa bahasa gaul hanya digunakan pada kelompok sosial yang menciptakannya. Anggota di luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami makna bahasa tersebut.
Fathuddin (1999: i) mengungkapkan bahwa slang merupakan bahasa gaul yang hidup dalam masyarakat petutur asli dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam obrolan antar teman, atau dalam media seperti teve, film dan besar kemungkinan dalam novel saat memaparkan suasana sosial tertentu.
Selanjutnya, Alwasilah (1993: 47) menyatakan bahwa penggunaan slang adalah memperkaya kosa kata bahasa dengan mengkomunikasikan kata-kata lama dengan makna baru. Pemakaian slang dengan kosakata yang sama sekali baru sangat jarang ditemui. Slang merupakan kawasan kosakata, bukan gramar atau pengucapan.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata alam diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim diapakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya.
Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai bahasa sandi, yaitu bahasa yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu (Laman Pusat Bahasa dan Sastra, 2004). Sarana komunikasi seperti ini diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Tumbuhkembang bahasa seperti itu selanjutnya disebut sebagai perilaku bahasa dan bersifat universal. Artinya bahasa-bahasa seperti itu akan ada pada kurun waktu tertentu (temporal) dan di dunia mamapun sifatnya akan sama (universal).
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
2.5 Sejarah Pemakaian Bahasa Gaul
Bahasa prokem awalnya digunakan para preman yang kehidupannya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-orang di luar komunitas tidak mengerti. Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang akan maupun yang telah mereka lakukan (Laman Wilkipedia Indonesia, 2005).
Para preman tersebut menggunakan bahasa prokem di berbagai tempat. Pemakaian bahasa tersebut tidak lagi pada tempat-tempat khusus, melainkan di tempat umum. Lambat laun, bahasa tersebut menjadi bahasa yang akrab di lingkungan sehari-hari, termasuk orang awam sekalipun dapat menggunakan bahasa sandi terebut.
Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi tersebut di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti maksud bahasa tersebut. Akhirnya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidak lagi menjadi bahasa rahasia.
Sebuah artikel di Kompas berjudul So What Gitu Loch….(2006: 15) menyatakan bahwa bahasa prokem atau bahasa okem sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.
Lebih lanjut, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa pada tahun 1970-an, kaum waria juga menciptakan bahasa rahasia mereka. Pada perkembangannya, para waria atau banci lebih rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian ikut memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa gaul.
Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering tidak beraturan dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan kita tidak dapat mempredeksi bahasa apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa gaul.
Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon dan colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok sosial tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi sehari-hari.
Terdapat berbagai alasan kenapa masyarakat tersebut menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh kelompok atau golongan sosial lainnya. Alasan esensialnya adalah sebagai identitas sosial dan merahasiakan sesuatu dengan maksud orang lain atau kelompok luar tidak memahami.
Kompas (2006: 50) menyebutkan bahwa bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu digunakan untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena intensitas pemakaian tinggi, maka istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.
Hal ini sejalan dengan laman Wilimedia Ensiklopedi Indonesia (2006), yang menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasa para bajingan atau anak jalanan disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman. Lebih lanjut dalam Pikiran Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul pada awalnya merupakan bahasa yang banyak digunakan oleh kalangan sosial tertentu di Jakarta, kemudian secara perlahan merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.
Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah sebelum penggunaannya popular seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:
1). Nih Yee...
Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece
Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce Gamalama.
3) Booo....
Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata Boo…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan. Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.
4) Nek...
Setelah kata Boo... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek... yang dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek... pertama kali di ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan kata Nek...
5) Jayus
Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaca untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompomk yang pertama kali mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di kitaran Kemang.
Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh teman-temannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya. Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti teman-temannya di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di lingkungan anak-anak SMU sekitar.
6. Jaim
Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku atau menjaga image.
itu
7. Gitu Loh...(GL)
Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina, Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir pembicaraan.
2.4 Ciri- ciri Bahasa Gaul
Ragam bahasa ABG memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek seperti ‘permainan - mainan, pekerjaan - kerjaan.
Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. (Nyoman Riasa)
1. Tambahan awalan ko.
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi jadi okem. (komasp)
2. Kombinasi e + ong
Kata bencong itu bentukan dari kata banci yang disisipi bunyi e dan ditambah akhiran ong. Huruf vokal pada suku kata pertama diganti dengan e. Huruf vokal pada suku kata kedua diganti ong.
3. Tambahan sisipan Pa/pi/pu/pe/po
Setiap kata dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada setiap suku katanya. Maksudnya bila suku kata itu bervokal a, maka ditambahi pa, bila bervokal i ditambahi pi, begitu seterusnya.
2.5 Distribusi Geografis Bahasa Gaul
Bahasa gaul umumnya digunakan di lingkungan perkotaan. Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan dari bahasa gaul bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat, perbendaharaan kata dalam bahasa gaulnya banyak mengandung kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa sunda.
BAB III
3. 1 Jenis Penelitian
Penelitian tentang Pemakaian bahasa gaul antartokoh film remaja Indonesia ini berkaitan dengan suatu gejala kebahasaan yang sifatnya alamiah. Artinya data yang dikumpulkan berasal dari lingkungan nyata dan situasi apa adanya, yaitu dialog antartokoh film. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hal ini disebabkan oleh karena data yang terkumpul dan dianalisis dipaparkan secara deskriptif .
Metode penelitian deskriptif berbeda dengan metode perskriptif. Metode penelitian deskriptif memiliki beberapa ciri, antara lain (1) tidak mempermasalahkan benar atau salah objek yang dikaji, (2) penekanan pada gejala aktual atau pada yang terjadi pada saat penelitian dilakukan, dan (3) biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis. Begitu sebaliknya dengan metode penelitian perspkriptif.
Hal ini sejalan dengan pendapat Arikunto (1990: 194) yang menyatakan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Dalam penelitian ini, data yang terkumpul berupa kata-kata dan dalam bukan dalam bentuk angka. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Alasan lain bahwa penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif adalah (1) penyajian hasil penelitian ini berupa penjabaran tentang objek, (2) pengumpulan data dengan latar alamiah, (3) peneliti menjadi instrument utama.
3. 2 Subjek Penelitian
Berkaitan dengan hal di atas, yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemakaian bahasa gaul remaja dalam dialog antartokoh film remaja Indonesia. Hal tersebut meliputi pola bentuk morfologis dan pola makna bahasa gaul tersebut. Sedangkan subjek dari penelitian ini adalah tokoh-tokoh film remaja ketika berdialog
3. 3. Data Penelitian dan Sumber Data
Data dari penelitian ini berupa kata yang digunakan dalam berkomunikasi antarsatu tokoh dengan tokoh yang lainnya. Sumber data dari penelitian ini adalah percakapan antartokoh sebagai interaksi komunikasi.
3. 4 Instrumen Penelitian
Peneliti disebut sebagai human interest mana kala peneliti tersebut berperan sebagai sebagai instrument utama. Di dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai peneliti utama. Sebagai instrument tambahan atau pelengkapnya, peneliti dibantu dengan perlengkapan computer dan CD atau DVD film remaja Indonesia.
3. 5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik observasi sebagai teknik utama. Observasi dilakukan dengan cara simak-catat, yaitu peneliti mencatat data bahasa dan konteksnya yang meliputi (1) topiknya, (2) suasananya, (3) tempat pembicaraan, serta (4) lawan bicaranya.
Melalui teknik observasi, dengan cara pengamatan partisipan oleh peneliti sendiri, maka akan diperoleh data yang wajar dan alami. Berikut adalah hal-hal yang diperlukan dalam observasi (1) gambaran keadaan tempat dan ruang berlangsungnya pembicaraan, (2) pelaku-pelaku yang terlibat, (3) aktivitas atau kegiatan saat berlangsungnya percakapan, dan (4) topik dari isi pembicaraan. Selanjutnya, observasi dalam penelitian ini meliputi
a) Persiapan
Persiapan ini adalah tahap paling awal dari observasi. Tahap persiapan ini dimulai dari mempersiapkan peralatan dan perlengkapan untuk mencatat situasi atau keadaan percakapan yang tengah berlangsung. Peralatan dan perlengkapan yang dimaksud berupa alat-alat tulis untuk mencatat.
b) pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap. Artinya, data yang berhasil tercatat pada tahap pertama, akan diulangi lagi pada tahap berikutnya untuk menentukan informasi tambahan. Tahap pertama dalam pelaksanaan ini selanjutnya disebut sebagai tahap eksplorasi, yaitu proses pencatatan data penelitian dari dialog antartokoh dalam filmremaja. Tahap kedua disebut sebagai tahap terseleksi. Tahap ini dilakukan pemutaran ulang film untuk mendapatkan informasi yang khusus serta pengecekan dalam kamus bahasa gaul.
c) pemantapan observasi
Langkah terakhir dari pengumpulan data ini adalah pemantapan observasi. Pemantapan observasi ini berupa pengecekan ulang data-data yang sudah berhasil terekam. Kegiatan pemantapan ini dilaksanakan beberapa kali sampai benar-benar memperoleh data yang memadai.
3.6 Teknik Analisa Data
Teknik deskriptif yang dipakai dalam penelitian ini menghasilkan tiga macam analisis data, yaitu sebagai berikut:
1. Menganalisis pemakaian bahasa gaul dalam film remaja Indonesia
Pemakaian bahasa gaul tersebut meliputi:
a) bahasa yang digunakan
b) konteks yang terdapat dalam komunikasi tersebut
c) hubungan antara unsur-unsur linguistik
2. Pengklasifikasian bahasa gaul remaja berdasarkan bentuk dan kelasnya
a) bentuk verbal kebahasaannya
b) proses pembentukannya
SAMAPAI DISINI DULU YA