Senin, 17 November 2008

DAMPAK KARTUN

http://digilib.petra.ac.id/ads-cgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007-51401053-5251-kartun-chapter2.pdf

DAMPAK KARTUN
2. LANDASAN TEORI
Dalam penelitian yang berjudul, “Analisa isi Representasi Kekerasan Pada Film Kartun South Park”, peneliti akan mengkaji konsep Efek Media Massa dan Teori Media menurut Denis McQuail, Pengertian Kekerasan, Pengertian Film kartun, Film kartun dan Dunia anak, disfungsional film kartun, dan nisbah antar konsep.
2.1.PengertianTelevisi
Televisi sebenarnya berasal dari 2 bahasa yakni : a.Bahasa Yunani, teleyang berarti jauh
b.Bahasa Latin, videre yang berarti bayangan atau penglihatan atau gambaran
(Sumber : Long-man Dictionary of Contermporart English)
Televisi secara garis besar dapat sama dengan melihat jarak jauh atau secara lengkap kata televisi dapat didefinisikan sebagai berikut : ? Suatu metode untuk memancarkan gambar baik yang diam atau yang
bergerak serta suara, melalui udara dengan menggunakan gelombang radio
atau elektromagnetik. ? Suatu cara komuniksi jarak jauh dengan cara pemindahan dan pertunjukan
suatu gambar atau adegan dari perubahan sinar-sinar cahaya ke dalam sinyal (isyarat) elektris sehingga secara seksama mampu menciptakan kembali gambaran semula pada titik penerimaan dari jauh.
(Sumber : Long-man Dictionary of Contermporart English)
Televisi sebagai salah satu sistem komunikasi yang memiliki jangkauan luas dan juga merupakan media informasi yang memiliki kekuatan yang ampuh untuk menyampaikan pesan, karena media ini tidak dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas dalam waktu yang bersamaan. Televisi juga memegang peranan sangat penting dalam interaksi antar budaya bangsa. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Televisi mempunyai tiga fungsi pokok yakni ; fungsi penerangan, pendidikan yang menyampaikan pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognitif dan apektif dan psiko motor dan juga fungsi hiburan (Andriasary, 1996 : 15).
2.1.1. Bahasa Televisi
Bagian Keempat pasal 52 dari Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia mengungkapkan :
1. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama danTuhan. 2. Kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik diungkapkan secara verbal maupun non-verbal. Sebagai perbandingan, dapat melihat kode etik televisi di Amerika yang menyebutkan dalam materi siaran kata-kata tidak senonoh, kurang sopan, cabul atau kasar harus dilarang dalam program televisi, walaupun mungkin hanya dipahami oleh sebagian penonton. Kata-kata kasar, terutama sekali yang berbentuk slang adalah terlarang untuk diucapkan (Morissan, 2004 : 297). James Curran (2002) juga menekankan media massa tanpa kontrol akan menjadi kekuatan yang tidak bertanggung jawab. Isi media tidak saja memiliki konsekuensi yang luas, tetapi media juga mempunyai khalayak, menciptakan kelas, dan selera tertentu, karenanya kekuatan media harus dikontrol untuk kepentingan publik. Menurut Kuswandi (1996) fungsi bahasa di televisi, terbagi dalam empat macam, yakni : 1. Bahasa berfungsi sebagai alat kontrol sosial, yaitu pengungkapan gaya bahasa halus (eupimisme) untuk menyindir atau mengkritik satu kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat.
2. Bahasa berfungsi sebagai alat ekspresi diri, yaitu pemirsa dapat mempelajari bagaimana mengikuti dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam artian, pemirsa dapat mengambil manfaat penggunaan bahasa yang
telah ditampilkan media televisi. 3. Bahasa berfungsi sebagai alat promosi, yaitu bahasa menjadi alat permainan dan manipulasi oleh pihak televisi untuk menjual barang produksi kepada pemirsa dalam bentuk iklan.
4. Bahasa berfungsi sebagai alat integrasi dan adaptasi, yaitu peran media televisi dalam paket acaranya menggunakan bahasa Indonesia, benar-benar dapat menginformasikan secara jelas peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
2.4.Representasi
Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282). Representasi adalah konstruksi artifisial realitas (citra, gambaran visual, konsep, deskripsi verbal) yang merupakan materi pemikiran paling awal dalam proses memahami realitas (http://www.kompas.com/kompascetak/0301/26/seri/Jala18.htm). Menurut Stuart Hall (1997), ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuai” yang ada di kepala kita masingmasing (peta konseptual). Representasi mental ini masih terbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa” yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang adadalam kepala kita harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem “peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan
konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual”, dan “bahasa/simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan :representasi. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah : makna tidak interen dalam sesuatu didunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Pratek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (http://kunci.or.id/teks/04repz.htm).
2.5.FilmSeriKartun
Film adalah gambar bergerak yang terbuat dari celluloid transparant dalam jumlah banyak, dan apabila digerakkan melalui cahaya yang kuat akan tampak
seperti gambar hidup (Siregar, 1985 : 9). McQuail menyatakan fungsi hiburan film sebagai berikut :
“Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulunya serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lain kepada masyarakat umum. Kehadiran film merupakan respon penemuan waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu luang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga” (McQuail, 1994 : 13).
Jadi film dianggap sebagai hiburan yang murah, apalagi film televisi dapat dinikmati khalayaknya dengan biaya yang relatif murah, serta dapat ditonton secara fleksibel dalam hal waktu dan kesempatan. Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau sekian banyak orang dalam waktu singkat dan mampu memanupulasi kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas (McQuail, 1994 : 14). Selain memiliki kelebihan, film juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah sifatnya yang sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh orang tidak bisa mengalihkan
perhatian untuk melakukan kegiatan lain. Kelemahan inilah yang menjadi salah
satu sebab khalayaknya kemudian berusaha mengkonsumsi media lain sebagai
pelengkap atau pengulangan (repetisi). Film anak-anak sendiri menurut Veven Sp Wardana adalah film yang menjadi wakil impian dunia anak-anak (Wardana, dalam Haryanto, 1996 : 16). Lain halnya dengan yang disebut dengan film seri yang berarti film yang ditayangkan tidak sekali tamat, tapi berkesinambungan sampai beberapa kali penayangan. Film seri anak akhir-akhir ini popular dikalangan anak-anak Indonesia, hal ini tidak lepas dari peranan stasiun-stasiun televisi dalam menayangkan film tersebut. Pada penelitian ini film seri anak yang digunakan adalah film seri berjenis kartun atau animasi. Untuk saat ini film seri anak-anak tayangan televisi yang mendominasi adalah film animasi/kartun buatan Jepang (Cakram, 2002 : 22). Film animasi atau kartun adalah :
“Jadi film animasi adalah film yang dibuat dengan menggambar setiap frame satu per satu untuk kemudian dipotret, setiap gambar frame merupakan gambar dengan posisi yang berbeda yang kalau diserikan akan menghasilkan kesan gerak. Sedangkan film animasi berdasarkan Ensiklopedi Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai film yang menciptakan khalayan gerak sebagai hasil pemotretan rangkaian gambar yang melukiskan perubahan posisi. Pada awalnya film animasi dibuat dari gambar-gambar tangan (ilustrasi). Gambar-gambar ini dibuat satu persatu dengan memperhatikan kesinambungan gerak sehingga ketika diputar rangkaian gerak dalam gambar itu muncul sebagai satu gerakan dalam film. Namun dengan adanya perkembangan teknologi, khususnya di bidang multimedia, maka pembuatan film animasi tidak lagi membutuhkan banyak biaya
dan animator. Lain halnya dengan Gunadi dan Herfan yang mengartikan film animasi sebagai film yang dibuat dari lukisan atau gambar yang dirangkai menjadi bentuk cerita yang dapat bergerak sesuai dengan kehendak pembuatnya.
2.6.FilmKartundanDuniaAnak
Anak-anak sangat menyukai cerita-cerita yang memuat unsur fantasi, seperti halnya film kartun. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kartono (1986: 141) bahwa anak menyukai sekali cerita dongeng karena unsur-unsur yang hebat dan ajaib dalam dongeng-dongeng ini mencekam segenap minat anak yang selanjutnya unsur-unsur kritik mulai muncul dan anak mulai mengkoreksi cerita yang dihayati, namun unsur fantasi masih memegang peranan penting karena itu anak lalu menyukai cerita-cerita kepahlawanan. Jadi, film kartun yang disukai oleh anak-anak adalah film dongeng kepahlawanan yang mengandung unsur fantasi. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Hurlock (1997 : 338) bahwa ketertarikan anak pada film kartun merupakan bentuk perkembangan selanjutnya dari ketertarikan dalam bermain, anak-anak lebih menyukai film
animasi khususnya dengan binatang sebagai tokoh utama karena mereka dapat memahami hal ini dengan mudah, yang selanjutnya berkembang menjadi menyukai film-film kartun yang bertemu petualangan, misteri dan kepahlawanan karena hal ini sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak sehari-hari. Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arini Hidayati (1998 : 106) menyatakan bahwa sebagian besar anak memilih acara film kartun pada saat menonton televisi yaitu sebanyak 99 responden dari 100 sampel. Hidayati (1998 : 107) menambahkan bahwa hal ini sebanding dengan motivasi dari anak-anak yang kebanyakan menggunakan media televisi sebagai media hiburan. Film kartun dapat mempengaruhi anak-anak, hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Hurlock (1997 : 340) yang menjelaskan cara film mempengaruhi anak-anak, yaitu:
1. Film menyenangkan anak dengan membawa mereka ke dunia manusia dan hewan yang baru yang melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukannya.
2. Dalam film, anak menemukan kegembiraan yang tidak diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, suatu kegembiraan yang lebih hidup ketimbang yang diperolehnya dari membaca, bahkan dari buku komik.
3. Gagasan yang dapat digunakan dalam kegiatan bermain lainnya diperoleh dari film koboi, mkhluk luar angkasa, orang Indian dan lain sebagainya.
4. Film menyediakan informasi tentang cara bersikap dalam situasi sosial dan anak menggunakan ini untuk meningkatkan penerimaan sosialnya.
5. Informasi lebih lama diingat bila dilihat dilayar disertai dengan suara ketimbang dicetak dengan sedikit ilustrasi seperti dalam buku, surat kabar, dan majalah.
6. Film menyediakan informasi tentang berbagai jenis orang yang tidak mempunyai hubungan pribadi yang dekat dengan mereka. Hal ini akan mempertinggi rasa toleransi, prasangka atau rasa suka sebagian besar akan tergantung pada cara penggambaran orang di layar.
7. Gambar yang bergerak memberikan pengaruh emosional yang nyata pada anak. Anak kecil mengekspresikannya dengan impian buruk atau sikap gelisah. Pada anak yang lebih besar pengaruhnya lebih sedikit dan jarang karena mereka menyadari yang mereka lihat di layar hanya adegan yang dibuat seolah-olah benar.
8. Menonton film terlalu lama secara terus menerus dapat menyebabkan kelelahan mata dan kelelahan umum. Film horor terutama melelahkan secara fisik dan emosional.
2.7.DisfungsionalFilmKartun
Sebagai bagian dari media massa, maka film kartun juga memiliki berbagai fungsi yang menurut Dennis McQuail (1994) meliputi fungsi : 1. Informasi/Penerangan Setiap media menyajikan informasi tentang peristiwa atau kondisi dalam masyarakat dan dunia, menunjukkan hubungan kekuasaan, memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan. 2. Korelasi Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi, menunjang otoritas dan nilai-nilai yang mapan, melakukan sosialisasi, mengkoordinasi beberapa kegiatan, membentuk kesepakatan, menentukan prioritas dan memberikan status relatif. 3. Kesinambungan
Mengekspresikan budaya dominant dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus /subculture/ serta perkembangan budaya baru, meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 4. Hiburan
Menyediakan hiburan, pengalih perhatian, dan sarana relaksasi, meredakan ketegangan sosial. 5. Mobilisasi
Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang agama.
Selain kelima fungsi dari McQuail tersebut, ada fungsi komunikasi massa yang terkenal dari Harold Laswell dan Charles R. Wright (dalam Littlejohn 1995 : 334), yaitu : 1. Pengawasan lingkungan (surveillance), yaitu menyediakan informasi berkisar tentang lingkungan, yang berlangsung baik di luar maupun di dalam masyarakat tertentu. 2. Korelasi (correlation), yaitu menyajikan pilihan bagi pemecahan masalah
3. Transmisi (transmission), yaitu sosialisasi (transmisi nilai-nilai budaya pada generasi muda) dan pendidikan. 4. Hiburan (entertainment), yaitu sarana rekreasi.
Dilihat dari fungsi-fungsi komunikasi massa yang telah disebutkan diatas, maka menurut peneliti sendiri fungsi film kartun sebenarnya adalah sebagai media hiburan yang isi dan pesan yang disampaikan dalam film kartun tersebut tidak keluar dari jalurnya atau bisa dikatakan tidak menyimpang dari nilai-nilai kekerasan, pornografi maupun porno aksi yang dapat merusak citra anak-anak. Isi film kartun pun tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi tersebut, terutama pada fungsi transmisi (sosialisasi dan pendidikan) dan hiburan, karena disesuaikan dengan segmentasi khalayaknya yaitu anak-anak. Fungsi ini kemungkinan besar tidak berjalan sebagaimana yang semula diharapkan. Artinya, ketika film kartun tersebut secara langsung maupun tidak langsung sudah menyelipkan adegan atau dialog yang menampilkan kekerasan, maka telah terjadi disfungsi media. Robert K. Merton dan Lazarsfeld mengungkapkan disfungsi pada fungsi transmisi budaya adalah memperbesar massa masyarakat dan mendepersonalisasikan proses sosialisasi. Sedangkan disfungsi pada fungsi hiburan adalah mengalihkan publik, meningkatkan kepastian, memperendah cita rasa, dan memungkinkan pelarian atau pengungsian diri (Lazarsfeld-Merton dalam Wright, 1998 : 14-15). Jika memang ditemukan adanya kekerasan berbentuk verbal maupun non verbal dalam film kartun, bahkan bila sampai pada taraf yang berlebihan, berarti memang telah terjadi disfungsionalisasi dari fungsi-fungsi pendidikan dan hiburan.
2.8.PengertianKekerasan
Selain fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan, media massa diyakini merupakan salah satu agen sosialisasi dari nilai-nilai. Nilai itu bisa berupa ideologi kapitalisme, demokratisasi, egaliter, maupun nilai-nilai yang berkonotasi kekerasan. Menurut Wignyosoebroto (1997), kekerasan adalah : “Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah), bersaranakan kekutan fisiknya yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi obyek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahankan lagi olehnya”.
Lain halnya menurut Jack.D.Douglas dan Frances Chaput Walker (2002) yang mengartikan kekerasan sebagai :
“Serangan dengan memukul (assault and battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi aktual kekuatan fisik kepada orang lain. [...]. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. [...] tindakan individu-individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif [...]”. (Santoso, 2002 : 24).
Kekerasan bisa dilakukan secara fisik seperti melukai, membunuh dan sejenisnya, maupun hanya lewat kata-kata seperti mengumpat dan menghina, sebagai luapan rasa marah yang sudah mencapai puncaknya kepada orang lain atau obyek kekerasan tersebut. Hal senada diungkapkan Kompas (1993) dengan membagi kekerasan menjadi dua macam yaitu : kekerasan berbentuk verbal (kata-kata) dan kekerasan berbentuk fisik (Joseph I. R., 1996). Robert Baron mendefinisikan kekerasan sebagai tingkah laku individu baik secara fisik maupun secara verbal yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut, atau terhadap obyek-obyek lain (Koswara, 1988 : 5). Bagaimana kekerasan bisa terbentuk. Teori belajar observasional, yang dikembangkan oleh Bandura dan kolega-koleganya cukup mampu menjawab pertanyaan diatas. Asumsi dasar teori belajar observasional adalah: Sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model. Menurut Bandura dalam (Koswara 1988 : 96), terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yakni :
1. Proses atensional yakni proses dimana individu tertarik mengamati untuk memperhatikan atau mengamati tingkah laku model. Proses atensional ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik yang
dimiliki.
2. Proses retensi, yakni proses dimana individu pengamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamatinya dalam ingatan, baik melalui kode verbal maupun kode imajinal atau pembayangan gerak. Kedua kode penyimpanan itu memainkan peranan penting dalam proses selanjutnya yakni proses reproduksi.
3. Proses reproduksi, yakni Proses dimana individu pengamat mencoba mengungkap ulang tingkah laku model yang telah diamatinya.
4. Proses motivasional yakni proses dimana tingkah laku yang sudah diamati tidak akan diungkapkan oleh individu pengamat apabila individu pengamat tersebut tidak tertarik perilaku kekerasan sesungguhnya, yakni melalui imitasi dan identifikasi tindakan agresif si tokoh pahlawan. Kekerasan di media massa memang dikhawatirkan akan menyebabkan tindakan-tindakan agresif dalam dunia nyata, terutama pada anak-anak yang
belum pandai membedakan antara dunia media dengan dunia nyata. Sangat disayangkan lagi bahwa ternyata film kartun anak merupakan film yang paling banyak mempertontonkan adegan-adegan kekerasan, padahal film kartun dibuat untuk konsumsi anak-anak (DeFleur-Loweri, 1995 : 319). Tanpa disadari adeganadegan kekerasan tersebut memicu pada tindakan kekerasan dalam dunia nyata, baik untuk jangka waktu pendek maupun jangka panjang (Dominick, 1983 : 448). Menurut Sarwono (1984), pendapat pertama yang dilandasi pemikiran Freud mengemukakan bahwa: “Film kekerasan di televisi dapat bertindak seperti katarsis”. Ini berarti, tayangan kekerasan justru dapat mengurangi perbuatan agresif karena dorongan untuk melakukan kekerasan sudah tersalurkan melalui apa yang dilihatnya di televisi. Pendapat ini sejalan dengan Grant Noble (Children
of The Small Screen, 1975), yang menyatakan bahwa apa yang dilihat oleh anak pada layar televisi dengan bagaimana ia berperilaku sangatlah kompleks, tidak jelas, dan tidak langsung. Ia malah melihat segi lain yang positif dari ekspos tindak kekerasan di televisi itu. Menurut Noble, melihat tindak kekerasan di televisi dapat memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menyalurkan implus-implus agresitivitasnya yang tidak dapat ia salurkan secara langsung karena dibatasi oleh nilai-nilai etis-moral yang diyakininya. Pendapat kedua dikemukakan oleh Himmelweit yang menganggap televisi dapat membuat penontonnya bersikap pasif. Mereka akan duduk di depan televisi menonton acara demi acara sehingga mengurangi kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan lain termasuk tindakan agresi (Comstock, 1978:54). Bahkan, menurutnya siaran televisi mengajari anak untuk mengenal kehidupan masyarakatnya dan masyarakat lain. Siaran televisi berfungsi sebagai wahana proses sosialisasi. Anak-anak diajari mengenal nilai-nilai luhur masyarakatnya, tetapi mereka juga disuguhi hal-hal lain. Menurut Katz, Gurevitch, dan Hass, hal ini berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam penggunaan media massa, seperti
kebutuhan kognitif, afektif, integratif personal, integratif sosial, dan pelarian (Rahmad, 1996:35). Sedangkan pendapat ketiga dikemukakan para pengamat di Amerika, karena ada dugaan acara televisi yang menampilkan film kekerasan dapat mendorong agresivitas seseorang. Seperti penelitian Robinson dan Bachman (1966-1970)
terhadap 2.200 anak berusia 10 tahun yang berasal dari seluruh wilayah di Amerika Serikat. Merekamenemukan korelasi positif antara jenis film yang ditontonnya dengan tingkah laku yang tampil pada anak-anak tersebut. Anak-anak yang sering menyaksikan film kekerasan rata-rata memiliki agresitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak suka atau jarang menyaksikan film-film kekerasan (Koeswara, 1988).
2.8.1. Kategorisasi Kekerasan.
Untuk mempermudah pengukuran dalam penelitian ini, dibutuhkan suatu kategorisasi penelitian. Dalam penelitian ini adalah representasi kekerasan yang meliputi :
1. Kekerasan ringan adalah tindakan seperti mendorong hingga jatuh, menyiku, menampar dan segala perbuatan yang tidak menyebabkan korban, knock out, termasuk di dalamnya perkelahian dalam latihan silat
dan sejenisnya.
2. Ancaman dengan senjata tidak terbatas pada senjata tajam ataupun senjata api, segala alat yang digunakan untuk menakut-nakuti lawan dikategorikan sebagai senjata.
3. Penganiyaan berat disini diartikan penganiyaan pada lawan sehingga menyebabkan lawan tidak berdaya, berdarah, pingsan, hingga tewas.
4. Penembakan disini diartikan sebagai kegiatan baku tembak, ataupun menembak tanpa pihak lain balas menembak. Alat yang digunakan adalah senapan, pistol atau alat sejenisnya.
5. Pengrusakan barang-barang disini bukan sekedar melempar sesuatu, tetapi termasuk akibat dari suatu yang berakibat rusaknya barang-barang (misalnya peledakan, kebakaran, membanting lawan pada meja sehingga
mejanya rusak, membenturkan lawan pada dinding kaca sehingga kacanya pecah) dan lainnya.
6. Kekerasan dengan kata-kata disini bisa berbentuk umpatan, olok-olok, hinaan, serta perkataan yang menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi marah. (Sumber : Kompas, 1993 : 6).
2.9.NisbahAntarKonsep
Televisi merupakan salah satu lembaga penyiaran, dimana media televisi ini mengambil peranan penting dalam berbagai segi kehidupan masyarakat seperti dalam kehidupan sosial, budaya, politik, juga ekonomi. Dalam menjalankan fungsinya media televisi memiliki kebebasan dan tanggung jawab, yaitu untuk memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan juga pengaruh yang baik kepada masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya kemajuan di bidang teknologi, perkembangan dunia televisi di Indonesia pun semakin banyak dan beragam. Acara yang ditawarkan juga beraneka ragam. Bahkan jika diamati, programprogram
acara yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi tersebut tidak luput dari tayangan-tayangan film kartun untuk anak-anak. Permasalahan yang lebih terasa adalah produk untuk anak biasanya sejak awal sudah sarat dengan beban normatif dan selain untuk memenuhi fungsi hiburan juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi. Kekerasan pada media massa televisi pun tidak lepas dari sorotan. Jika lebih
dicermati, banyak sekali stasiun-stasiun televisi yang tidak menyadari bahwa filmfilm kartun yang ditayangkan terkadang sarat akan kekerasan dan ini akan sangat merugikan bagi siapa pun juga, bahkan jika sampai ditiru oleh anak-anak yang pola pikirnya masih bisa dipengaruhi oleh siapa pun juga. Dengan adanya suatu penelitian pada film kartun yang sarat akan kekerasan ini, diharapkan agar orang tua sebagai pendamping dapat memilah-milah film kartun mana yang layak untuk ditonton oleh anak-anak. Media massa televisi memiliki posisi istimewa dalam masyarakat karena sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga yang memberikan informasi dan hiburan setiap saat. Tanpa disadari media massa televisi memberi pengaruh yang kuat kepada masyarakat. anak-anak.
2.10.KerangkaPemikiran
Secara skematis, kerangka berpikir peneliti dalam melakukan penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 Gambar.2.1. Sumber: Olahan Peneliti Fenomena film kartun : Penyalahgunaan bermunculannya film-film kartun yang tidak sesuai dengan fungsi yang sebenarnya yaitu to entertain yang sarat dengan adegan kekerasan baik kekerasan fisik dan kekerasan verbal.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda